Sejak menjabat sebagai Presiden RI yang ke-7, Pak Jokowi bersama timnya telah mencanangkan sebuah gerakan yang pada dasarnya hebat dan mantap, namanya Revolusi Mental. Keren dan dahsyat memang. Tapi, bagaimana kenyataannya sekarang? Secara umum, seruan itu baru berwujud slogan kosong yang hanya manis di bibir saja. Memang, ada semacam heroisme dalam slogan itu. Tapi, bukankah praktik lebih penting dari sekadar slogan kosong? Banyak ide, banyak gagasan, tapi masih mengambang, diantaranya Revolusi Mental tadi.
Kita memang menyadari dan mengakui bahwa mewujudkan gagasan ideal tidaklah mudah. Butuh totalitas. Tidak bisa setengah hati. Dalam hal Revolusi Mental atau Revolusi Karakter, pemerintah tidak melakukannya dengan sungguh sungguh. Banyak alasan dikemukakan, misalnya anggaran minim, dan lain lain. Jika Revolusi Mental ini dianggap penting, maka anggarannya pun harus banyak. Tidak cukup hanya sebatas miliaran, tapi triliunan. Dan, jika masih dianggap kurang penting, lalu mengapa pemerintah mencanangkan Revolusi Mental tersebut?
Memang, sejak suku-bangsa Indonesia diproklaim sebagai bangsa yang merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945, persoalan mental ini masih dipandang bukan problem serius. Sehingga Belum menuntaskan kisi kisi batin yang harus diperjuangkan sendiri.
Ada semacam kebingungan tersendiri dari pemerintah dalam melakukan Revolusi Mental ini. Sebab, Revolusi Mental bukanlah Revolusi Fisik semacam perjuangan melawan penjajah. Juga tidak dalam arti kudeta, yakni mengambil alih kekuasaan dalam sekejap mata. Revolusi Mental di sini lebih dalam arti mengubah watak atau karakter bangsa Indonesia yang sudah parah penyakitnya akibat dari akumulasi problem kenegaraan dan kebangsaan yang akut, misalnya budaya korupsi yang sudah mendarah daging, maraknya narkoba, judi yang kian canggih modusnya seperti judi online, radikalisme dan terorisme atas nama agama, kemalasan berpikir dan melakukan riset riset ilmiah, kejahatan seksual terhadap anak, pornografi dan pornoaksi, dan aneka penyakit hati dan mental lainnya yang kian berkembang mengikuti perkembangan zaman. Mengubah semua itu dengan cara yang cepat dan tepat, itulah Revolusi Mental.
Dengan adanya kasus demi kasus di depan mata, maka seolah Revolusi Mental itu memang tidak ada, hanya pepesan kosong yang memang digemari masyarakat suku-bangsa Indoensia dari waktu ke waktu. Dengan rendahnya masyarakat melek baca, menjadi salah satu indikator: suku-bangsa ini masih gemar pepesan kosong.