Restorasi Meiji (1866-1869) yang diprakarsai oleh Kaisar Meiji merubah arah sejarah suku-bangsa Jepang untuk memodernisasi diri. Hal ini terjadi setelah masa pemerintahan penuh intrik yang dikuasai oleh para-Shogun berakhir. Shogun adalah panglima kekaisaran Jepang yang mengambil peranan cukup penting dalam melemahkan kaisar. Sejak Abad ke-12 hingga abad ke-19, Kekaisaran Jepang di bawah pengaruh para-Shogun ini menerapkan kebijakan “defensif” menutup diri (sakoku) dari pengaruh asing.
Meskipun, kaisar pada masa para-Shogun tersebut masih berkuasa, namun konflik internal dan korupsi tidak dapat dicegah. Walhasil, Kaisar Meiji membuka kran bagi pelabuhan pelabuhan di Jepang untuk dikuasakan asing.
Dampak dari hasil Resolusi Meiji adalah, pertama, berakhirnya masa feodalisme (penguasaan atas tanah) dan diganti dengan sistem administrasi, kedua, Jepang kemudian berhasil merumuskan konsep Undang Undang seperti di negara negara Eropa, ketiga, Jepang dari agraris menjadi negara industri, keempat, dari suku-bangsa terbelakang menjadi maju, kelima, memfasilitasi transportasi dan komunikasi untuk memperlancar aktivitas aktivitas sosial dan ekonomi, dan keenam, Jepang memiliki kekuatan militer terkuat dan termodern di Asia pada awal abad ke-20.
Di samping menyisakan efek efeks negatif seperti hilangnya hak hak tradisional bagi kalangan daimyo (tuan tanah) dan kalangan samurai, Jepang tampil sebagai negara imperialis pada Perang Dunia II, dan berhasil menduduki China (1931), Korea (1930), Hongkong dan Indonesia (1942).
Namun, yang sering menjadi catatan pengamat budaya dan ekonomi, Jepang terbilang cepat bangkit dalam keterpurukan, terutama pada setelah peristiwa bom atom 1945.
Mempertanyakan Konsep Bernegara
Muncul pertanyaan dari kesiapan suku-bangsa Indonesia dalam membentuk negara dari sebagian kalangan. Sebab, hingga Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Hatta menyatakan “kemerdekaan bangsa Indonesia”. Begitu pula, Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menyebutkan: “Tanah air yang satu”, “Bangsa yang satu”, dan “Bahasa yang satu”. Tidak menyebutkan “Negara yang satu”.
Dari pertanyaan tersebut, setidaknya, dapat dipahami: titik tolak analisis sejarah Indonesia selalu diawali dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebelum tanggal tersebut, belum ada Indonesia, bahkan bangsa Indonesia. Yang ada adalah negara negara berdasarkan kesukuan dan wilayah di satu sisi, sementara Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Pendudukan Jepang di sisi yang lain.
Memang, pada saat itu, masalah bangsa Indonesia menjadi prioritas untuk menegaskan identitas kebangsaan dan mengikis habis sekat sekat perbedaan. Namun, bukan berarti konsep negara tidak sama sekali dibicarakan. Meskipun, pada proses berikutnya, konsep konsep tersebut mengalami “masa uji berlaku” seperti rancangan rancangan yang menjadi agenda agenda politik di meja meja perundingan berikutnya dan pemberontakan pemberontakan yang tidak sevisi mengenai bentuk dan konsep negara tersebut.
Secara referensial, konsep bernegara tersebut sudah menjadi bahan pembahasan ulama ulama tradisional yang memiliki kepedulian berbangsa dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan hasil Muktamar NU di Banjarmasin pada 1936, kemudian Muhammadiyah dengan membentuk Majelis Tarjih pada 1939.
Tentu, tradisionalisme Indonesia berbeda dengan tradisionalisme Inggris atau Jepang di dalam merespon modernitas. Inggris dan Jepang di satu sisi masih mempertahankan sistem tradisional kekaisaran (kingdom), sementara tradisionalisme di Indonesia didorong oleh semangat dakwah dan antikolonialisme sehingga meninggalkan tradisionalisme seperti yang berlaku di Inggris dan Jepang di sisi yang lain.
Mengapa Muhammadiyah masuk ke dalam kategori tradisional dalam pembahasan ini. Pertama, semangat pembaharuan yang diusulkan oleh Muhammadiyah untuk kembali kepada al Quran dan hadis yang merujuk kepada tradisi Islam pada masa awal ketika di Mekah dan Madinah. Kedua, kultur masyarakat warga Muhammadiyah tidak sedemonstratif seperti yang dilakukan oleh kalangan warga Salafi-Wahabi yang mengabaikan referensi referensi keislaman dari masa kerasulan Muhammad saw hingga 200 tahun setelahnya yang dikenal dengan sebutan tradisi Salaf atau Salafiyah. Dan, ketiga, modernisasi pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, terutama di Yogyakarta, adalah dalam rangka menghadapi kemajuan sekolah sekolah bentukan Pemerintah Hindia Belanda dan nonmuslim. Kemajuan modernitas pada Muhammadiyah sama seperti capaian yang diraih dan dilakukan oleh Mesir dan Turki dalam mereformasi administrasi dan birokrasi lembaga lembaga pendidikan.