Pada Haul KH Zainuddin Djazuli di Pesantren Plosomojo, Kediri, Buya Said Aqil Siroj menyebutkan potensi besar yang dimiliki oleh pesantren, berupa sosial kapital atau sumberdaya manusia.
Pesantren Rasulullah
Momen Hijrah menjadi titik tolak umat Islam dalam melakukan kebangkitan, ketika Rasulullah saw mulai menata peradaban (tamaddun, madinah). Pada fase Madinah ini, tauhid tidak menjadi tema penting dalam wacana Kenabian, melainkan mulai menanjak pada aspek aspek ilmu, pengetahuan, tradisi, dan hukum. Maka, tidak heran, jika kemudian ayat ayat hukum banyak diturunkan pada fase Madinah ini. Begitu pula, ilmu dan pengetahuan mulai berkembang tatkala pasukan musuh yang memiliki potensi ilmu seperti matematika dapat bebas dari hukum perbudakan manakala mau menyumbangkan ilmunya kepada penduduk Madinah. Pada fase Madinah ini, aspek peradaban menjadi perhatian utama Rasulullah saw dalam menegakkan “negara” kuat. Dalam praktik sosial, dibuat satu ikatan hukum tetap antarsuku bangsa yang dinamakan “Piagam Madinah”. Meskipun, sebutan “Negara Madinah” masih menjadi perdebatan parasarjana.
Memang, fondasi pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah adalah ketakwaan dengan mendirikan masjid Quba’. Dari masjid tersebut, tatanan sosial, hukum, dan budaya mulai diimplementasikan ke dalam kehidupan nyata.
Namun, satu hal penting untuk menjadi perhatian bersama bagi umat Islam dengan kehadiran cikal bakal “pesantren Rasulullah saw”. Pesantren itu diisi oleh ahli ahli ilmu seperti Salman Al Farisi dan Abu Hurairah. Meskipun, jarang terlibat langsung dalam aktivitas aktivitas politik dan perang, Abu Hurairah bisa dikatakan sebagai periwayat hadis Rasulullah saw yang terbanyak.
Di Pesantren Rasulullah ini, mereka hidup penuh dengan keprihatinan untuk menjunjung tinggi keilmuan dan hidup zuhud. Jihad mereka bukan dengan menggunakan pedang selayak sahabat sahabat lainnya, melainkan dengan menghapal Al Quran, berdiskusi, meriwayatkan hadis, serta memperkuat ketahanan batin yang dikenal dalam istilah belakangan sebagai “sufi”. Kelompok yang dikenal dengan sebutan zawiyah (pojok) Ahlus Sufi.
Untuk memperkuat ketahanan ini pula, Rasulullah saw membangun tempat tinggal yang berdempetan dengan masjid sehingga muncul aktivitas aktivitas yang bersifat totalitas dalam membangun tatanan budaya, terutama ilmu dan pengetahuan.
Dimensi Berkelanjutan
Mengapa pesantren di Indonesia belakangan sering diserang dengan isu isu dan pemberitaan pemberitaan negatif oleh media media mainstream? Karena, kekuatan sosial kapital atau الثورة الاجتماعية dalam versi Buya Said hanya dimiliki oleh pesantren. Bukan sekolah. Sebab, sekolah telah membuat jarak sosial antara pelajar dan masyarakat. Sehingga dari aspek ilmu sering tidak “nyambung”. Dari sekolah pula, telah terjadi polarisasi pada masyarakat seperti “umum” versus “agama”, “nasionalis” versus “islam”, “islam” versus “komunis”, “santri” versus “abangan”, dan seterusnya. Padahal, sekat sekat demikian tidak pernah ada di dunia pesantren. Karena, pesantren bersifat inheren dan integral.
Dinamika kemajuan pesantren cukup signifikan, terutama pascareformasi. Pesantren yang dimusuhi sejak masa Belanda dan masa Orde Baru, kini, lebih bisa memberi kontribusi positif bagi budaya, terutama ilmu dan pengetahuan. Pesantren bisa lebih terbuka kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya dalam penyelenggaraan pendidikan karena bisa dapat saling mengisi. Pesantren memberi kontribusi budaya dan agama kepada negara, sebaliknya negara memberikan kontribusi kemajuan bagi peningkatan program program pendidikan di pesantren. Justru, relevansi madrasah hampir nyaris hilang. Sebagaimana madrasah dibentuk pada mulanya adalah untuk menyatukan persepsi persepsi berbeda dari kalangan internal umat Islam sendiri. Perbedaan perbedaan paham di dalam menafsirkan Al Quran, penerapan fiqh, serta implikasi politik akibat polarisasi yang dihasilkan dari paham paham sekolah.
Dari pesantren, tidak hanya budaya, bahkan elemen elemen budaya yang mendasar dapat menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa. Tidak sedikit, “stakeholder” yang dihasilkan dari pesantren menjadi modal utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang “the founding father” seperti Ir Soekarno, Drs Moh Hatta, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakkir, dan Ki Hajar Dewantara adalah di antara tokoh tokoh yang dibesarkan dari dunia pesantren.