Garda Depan
Kaum intelektual Afrika Utara (Mesir, Aljazair, Tunisia, Libya, dan Maroko) menamai diri mereka sebagai kelompok Garda Depan. Karena, bersinggungan langsung dengan kaum intelektual Eropa. Dari sejarahnya, kekuatan militer hampir sama antara Afrika Utara dan Eropa. Sehingga bisa dikatakan tidak pernah terjajah, meskipun pernah menjadi negara negara protektorat di bawah kekuasaan Kekaisaran Usmaniyah. Munculnya sistem negara bangsa (nation state) akibat kekalahan Turki pada Perang Dunia Pertama menyebabkan negara negara keemiran berdiri sendiri dengan wilayah masing masing sebagaimana saat ini. Hal yang berlaku sama bagi negara negara Timur Tengah pada umumnya.
Hubungan Timur dan Barat sudah terjalin melalui Pantai Barat Afrika, Tanjung Harapan, Teluk Persia, India, hingga ke Nusantara. Catatan catatan dari masa Ptolemy (Firaun) telah memberikan informasi ini hingga masa Ibnu Batuta. Catatan catatan perjalanan yang bisa dibedakan dengan catatan perjalanan suku-bangsa Eropa seperti Christopher Columbus.
Memang, beberapa motif yang menjadikan suku-bangsa di Afrika Utara untuk bisa sampai ke Nusantara. Bisa karena perdagangan, perkawinan, atau terusir sebab peperangan.
Kemunculan muslim di Nusantara dengan gelar “Maulana” bisa menjadi petunjuk hubungan tersebut berjalan baik seperti Maulana Maghribi, Maulana Malik Ibrahim, dan Maulana Ishak. Mereka berasal dari Afrika Utara, terutama Mesir dan Maroko. Di samping, banyak amalan amalan umat muslim Nusantara yang memakai amalan amalan dari negara negara Afrika Utara seperti shalawat Nariyah, Burdah Al Bushiri, maupun thariqah Al Syadziliyah. Sejauh ini, ciri dari amalan amalan yang beraneka ragam dan bentuk kekhususannya belum pernah diteliti secara detil. Dari negeri mana sajakah amalan amalan umat Islam di Nusantara dan bagaimana corak coraknya? Hanya bersifat parsial dan ketokohan sumbernya saja, itupun tidak terlalu detil. Ada sanadnya, tapi “station station” amalan tersebut masih jarang diteliti.
Ulama Ulama Bani Alawi Al Maghribi
Secara sosio kultur, penelitian detil masih kurang, kalaupun ada berupa biografi biografi tokoh saja. Perbedaan perbedaan antara keturunan Bani Hasan dan Bani Husein (bin Ali bin Abi Thalib) juga masih sedikit dan cenderung campur aduk. Belum lagi gelar gelar lokal yang memiliki ciri khas suatu wilayah seperti Khan, Sultan, Amir, Shah, dan lain lain. Sehingga sangat sulit dideteksi, suku-bangsa apa sajakah yang membawa Islam ke Nusantara? Dalam pendapat Martin Van Bruinessen, Syekh Jumadil Kubro merujuk kepada pendiri thariqah Al Kubrawiyah, Syekh Najmuddin Al Kubra. Bisa jadi, berbeda dengan pendapat lain.
Dalam hal ini, Habib Luthfi bin Yahya memberikan keterangan jika salah satu makam wali di Tapanuli, Ahmad Shah Jalal (cucu raja Nashirabad, India) menikah dengan puteri Raja Champa yang di kemudian hari melahirkan Syekh Jamaluddin Husein. Syekh Jamaluddin Husein kemudian melahirkan 11 orang anak keturunan 9 wali di Nusantara. Syekh Jamaluddin Husein inilah yang melakukan perjalanan bersama rombongan dari Timur Tengah dan Maroko ke Nusantara. Rombongan yang dikenal kemudian dengan sebutan Al Maghrobi. Setelah singgah ke Pasai, Aceh, rombongan tersebut lalu menuju Pulau Jawa ((Semarang). Dari Semarang, kemudian ke Trowulan, Mojokerto. Karena, perilaku rombongan Syekh Jamaluddin Husein tersebut dipandang baik, maka merekapun mendapat tempat untuk mendirikan pesantren dari petinggi Majapahit kala itu. Dari situ, Syekh Jamaluddin Husein menerima murid dan santri dari berbagai kalangan dan dari berbagai negeri. Syekh Jamaluddin Husein ini dikenal pula dengan sebutan Syekh Jumadil Kubro.
Setelah masyarakat Islam berkembang, rombongan Syekh Jamaluddin Husein ini berpencar ke mana mana. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Barat. Dari makam makam rombongan inilah kemudian dinamakan Al Maghribi sehingga berbilang jumlahnya di berbagai tempat.
Tidak berhenti di situ, kemudian datang lagi rombongan gelombang kedua yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim bersama rekannya, Sayid Ibrahim Asmoroqondi (dari Samarkand). Sayid Ibrahim Asmoroqondi ini mendapat jabatan dan wilayah istimewa sehingga bergelar Pandita Ratu.
Tak lama kemudian, rombongan Maulana Malik Abdul Ghofur, kakak Maulana Malik Ibrahim, disebut pula sebagai Al Maghrabiyun. Dan, ternyata lebih banyak daripada jumlah sebelumnya.
Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Maulana Malik Ibrahim adalah cucu dari Syekh Jumadil Kubro.
Setiap rombongan berpencar ke berbagai daerah dan ada yang sampai Pekalongan.
Di Pekalongan, jumlah mereka ada sekitar 25 orang maulana Al Maghrabiyun. Makam makam mereka dengan sebutan yang sama, Maulana Maghribi. Dan, Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran memanggil Maulana Maghribi dengan sebutan kakek yang berarti lebih tua atau dipandang tetua oleh Prabu Siliwangi.
Di antara rombongan Maulana Maghribi tersebut, ada yang wafat di pesisir Semarang dan dikenal pula dengan sebutan Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kaligawe.
Ada yang wafat di Pekalongan, seperti rombongan Maulana Syarifuddin Abdullah Hasan Alwi Al Quthbi. Mereka tinggal di daerah Blado, Wonobodro. Dua orang lagi bernama Maulana Ahmad Al Maghrabi dan Maulana Ibrahim Al Maghrabi yang tinggal di Bismo. Ketiganya dimakamkan di Bismo dan Wonobodro.
Mereka juga membangun masjid Bismo dan masjid Wonobodro. Di Setono (Pekalongan), terdapat makam Maulana Abdul Rahman dan Maulana Abdul Aziz Al Maghrabi. Juga, ada Syekh Abdullah Al Maghrabi Ragoselo, Sayid Muhammad Abdussalam Ki Gede Penatas Angin.
Dengan demikian, rombongan Maulana Maulana Al Maghrabiyun tersebut ada empat generasi. Mereka dari kalangan Bani Alawiyun yang berkuasa di Afrika Utara. Yang pertama, generasi Syekh Jamaluddin Husein di Trowulan; kedua, generasi Syekh Ibrahim Asmoroqondi di Tuban; ketiga, generasi Maulana Malik Ibrahim di Gresik; dan, keempat, generasi Sunan Ampel. Adapun yang dimakamkan di Paninggaran (Sawangan, Pekalongan) atau disebut Wali Tandur adalah termasuk generasi kedua, meskipun bukan termasuk dari kalangan Al Maghrabiyun. Wali Tandur ini gigih melakukan syiar Islam di Paninggaran. Kalau dalam bahasa Sunda, paninggaran itu berarti “cemburu”.