Asal Usul Kata “Maula”
Inilah arti penting memahami budaya yang mencakup bahasa di dalamnya. Bahasa sering pula disebut sebagai “cermin budaya”. Suatu suku-bangsa akan terlihat apik dan modern manakala bahasanya mulai tertata rapi. Baik dari segi “grammar’ maupun kekayaan maknanya.
Bahasa Arab mengalami puncak kemodernan setelah turunnya ayat ayat suci Al Quran yang dapat dilihat dari beberapa aspek seperti susastra, sejarah, logika, dan logos (wahana pengetahuan). Kemodernan bahasa Al Quran memang bisa dipandang misteri, karena sulit untuk digambarkan fakta dan data isi dunia dan alam semesta terangkum di dalamnya. Belum lagi, kata kata serapan dari bahasa asing (a’jami) dapat pula termuat dari konteks ke-Arab-an. Sehingga untuk menjelaskan dari diksi diksi Al Quran memerlukan berlembar lembar kertas dan aspek aspek pengetahuan yang tidak sedikit, baik dari segi waktu maupun materinya.
Kehebatan Al Quran di situ. Hanya dalam rangkaian kata sebanyak 30 juz mampu merangkum dari sekian banyak pengetahuan dunia. Oleh karena itu, dalam terma terma tertentu, Al Quran menggunakan bahasa bahasa A’jami yang asing di telinga (sima’i) orang orang suku-bangsa Arab. Demikian pula, dengan kata “Maula”. Apakah kata tersebut diambil dari orang orang suku-bangsa Arab?
Jangan dilihat dari segi penulisan aksaranya yang menggunakan simbol (huruf) Arab, tapi dari segi makna dan kebiasaan pemakaiannya.
Kata “Maula” dari segi filologinya (ilmu asal usul kata) berangkat dari pemikiran dan kebiasaan yang akrab di telinga masyarakat suku-bangsa Barbar. Sama seperti kata “Tuan” dalam bahasa Melayu, “Bendara” dalam bahasa Jawa, demikian pula dengan kata “Maula”. Jadi, kata “Maula” tersebut bukan menunjukkan status sosial seseorang, tapi tergantung pada pemakaiannya dalam menghormati seseorang sehingga dijadikan nama gelar.
Kata ini banyak dipakai di Afrika Utara. Terutama, dari kalangan zuriah Rasulullah saw yang belakangan dipakai pula untuk pemimpin sebuah thariqah. Maula atau Maulay sama seperti sematan “Sidi”, singkatan dari “Sayyidi” dalam thariqah Naqsyabandiyah di Asia Tengah; atau, sering pula dipakai istilah “Baba” di India. Penggunaan kata Syekh juga populer di Asia Barat dan India. Di India, kata Syekh identik dengan “Sikh”, thariqah yang mempraktikkan beberapa gabungan gaya zikir dan yoga. Kata kata atau gelar gelar sematan demikian berlaku turun temurun sesuai dengan garis thariqah masing masing.
Suku-bangsa Afrika Utara
Jauh sebelum agama Islam datang dibawa oleh orang orang suku-bangsa Arab, masyarakat Afrika Utara sudah mengalami kemajuan kemajuan yang pesat di bidang peradaban. Hal ini ditandai dengan Perang Roma yang panjang dengan suku-bangsa Kartago yang berasal dari suku-bangsa Fenisia. Begitu pula, ekspansi suku-bangsa Yunani yang mendirikan Kota Iskandariah oleh Dinasti Ptolemy (Firaun). Ditambah, gelombang suku-bangsa Nubia dari Afrika Selatan yang turut meramaikan jalur utara Pantai Afrika.
Maka, tidak salah, jika kemudian penduduk Benua Eropa menaruh iri terhadap kemajuan kota kota pelabuhan di Afrika Utara yang cantik dan subur. Dalam legenda Cleopatra, Mesir digambarkan seperti seorang Dewi yang diperebutkan karena kecantikan dan memakmurkan rakyatnya.
Penjajahan dan penaklukan yang dilakukan oleh orang orang suku-bangsa Eropa, terutama Kekaisaran Romawi, telah merubah pola budaya Eropa sebagai ancaman. Legenda Hannibal yang hampir mengalahkan Kekaisaran Romawi merupakan perlawanan “budak” dalam persepsi Romawi. Munculnya istilah “Barbar” atau Barbarosa adalah sematan yang diberikan bagi suku-bangsa Afrika Utara yang berbilang bilang jumlahnya. Mereka dianggap Barbar karena dianggap tidak memiliki peradaban dan pandangan hidup yang terhormat. Berperang di luar perikemanusiaan. Padahal, kekejaman yang ditimbulkan oleh suku-bangsa Romawi tidak kalah brutalnya daripada mereka yang dianggap Barbar.