Sudah menjadi tradisi di keluarganya, sejak dini harus berangkat mesantren. Karena, kalau terus menerus di rumah tidak akan pernah bertambah ilmu dan pengalaman baru. Selepas kelas empat sekolah dasar, ia diantar oleh orangtuanya ke Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Melanjutkan studi kelas limanya hingga lulus Aliyah.
Pengalaman Baru
Pesantren Babakan Ciwaringin telah banyak melahirkan nama nama besar dari segi spirit perjuangan maupun intelektual. Belakangan, ulama yang cukup kesohor kealimannya adalah Buya Syakur Yasin. Ulama mufasir Al Quran dengan pendekatan pendekatan geniusitas tasawuf dan susastra.
Pesantren Babakan adalah salah satu yang tertua di Kabupaten Cirebon. Didirikan oleh tokoh legendaris, Ki Jatirah sekitar tahun 1715. Pada masa Ki Jatirah inilah Pemberontakan Kedondong terhadap Belanda terjadi. Pemberontakan yang dinilai tidak kalah hebat bila dibandingkan dengan Perang Dipanegara (1825-1830) dan Perlawanan Nyi Ageng Serang.
Ahyaruddin kecil telah menghabiskan waktunya lebih banyak di pesantren hingga selesai kuliah strata satunya. Dalam rentang waktu itu, banyak pengalaman pengalaman yang didapatnya di luar pesantren.
Menurut pengakuannya, ia termasuk santri “mbeling” alias jarang masuk ke kelas. Tapi, dilihat kepiawaiannya membantu penulisan beberapa tugas akhir milik temannya serta tata pembukuannya yang rapi, agaknya pengakuan itu hanya dalam bentuk ungkapan majas litotes saja.
Selama di bawah asuhan kiainya, Ahyar mendapat perlakuan yang cukup manusiawi. Meskipun, terkesan nakal, tetapi ia tidak mendapat hukuman berat.
Di pesantren, kemandirian telah tertanam di dalam jiwanya. Ia menjadi jurumasak cukup lama di dapur umum pesantrennya. Memang, tidak sedikit orang yang telah mengabadikan diri sebagai jurumasak menjadi sukses dan kiai besar di kampungnya di kemudian hari.
Dan, Ahyar kecil tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Di samping tekun belajar, ia sering mencuri waktu untuk menjaga pemulung botol bekas minuman mineral dan memungut paku dengan menggunakan magnet. Hasil dari penjualan, ia tabung sedikit demi sedikit.
Aktivis PMII hingga Penggemar Slank
Masa masa kuliah menjadi kenangan yang cukup berarti baginya. Ahyar tidak menyia-nyiakan waktunya begitu saja. Ia terlibat dalam organisasi mahasiswa. Bakat kepemimpinannya mulai tampak. Ia mampu mengoordinasikan sahabat sahabatnya. Gelora jiwa mudanya hampir mengalahkan kandidat yang didukung oleh seniornya sendiri. Hanya kalah satu suara saja. Ahyar belum berhasil menjadi ketua cabang PMII setelah melalui proses yang cukup panjang.
Kenakalan remaja tak tampak dari dirinya seperti terlibat miras dan narkoba, meskipun ia cukup lama hidup di jalan sebagai tukang parkir kendaraan. Ia rajin membaca dan coba memahami dunia pergerakan melalui buku. Hidupnya tak pernah sepi, karena selalu didatangi oleh sahabat sahabat karibnya.
Ahyar penikmat berat lagu lagu Slank, meskipun ia menolak untuk dikatakan sebagai Maniak Slank. Namun, cukup menjiwai, melarutkan gelora mudanya. Selama dua bulan, Ahyar meninggalkan pesantrenya. Mencoba pengalaman baru mengikuti tour konser grup musik Slank.
Dengan tersenyum senyum, Ahyar bercerita kisahnya selama “petualangan” itu. Dari kota ke kota mengikuti arah angin dengan menumpang kendaraan truk yang membawanya ke kota tujuan. Tidak hanya di pulau Jawa, bahkan luar Jawa. “Saya pernah sampai ke Bali,” ucapnya, senang.
Dua bulan menghilang. Tentu saja, telah membuat curiga kiainya di pesantren. Iapun dihukum tinggal di rumah kiainya dengan kamar bersebelahan. “Jarang jarang, ada kiai yang memberi hukuman dengan kasih sayang seperti saya,” ucapnya, lagi, dengan bangga.
Kegesitannya bekerja, cepat dalam menyelesaikan persoalan. Dari pagi hingga sore, ia mengepak dan mengatur pengiriman kue kering gapit ke berbagai kota tujuan. Keringat tampak jelas jatuh dari sela sela rambut di pelipisnya. Jika malam tiba, ia rajin membukukan produk produk yang berhasil terjual dan membungkus rokok rokok ke dalam paketan. Ia sudah pandai menyetir mobil sejak pertama memulai kerja. Dari kemahirannya membawa mobil, iapun dipercaya hingga menempuh jalanan ramai kota Jakarta. Karena, sering menyopir mobil itu, Ahyar mendapat keberkahan Buya Uki Marzuki untuk mengenal pejabat pejabat tinggi, baik di PBNU maupun pemerintah. Ia bercerita bangga dan mendapat apresiasi dari ibunya. “Benar, saya sejak kecil di pesantren, belum pernah sekalipun ke kantor Kuwu,” katanya, lugu, seperti tanpa dosa. “Baru baru ini saja tahu kantor Kuwu, itupun sama Buya.” Sepertinya pula, Bali jauh lebih dekat dari kantor Kuwu.