Untuk menulis lembaga pendidikan secara umum dan macam macamnya, maka ditulis menjadi “pendidikan Islam”. Sementara pesantren memiliki ciri khas tersendiri dengan perubahan perubahannya.
Lembaga Pendidikan yang Terbelakang?
Pada era awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, soal pendidikan ini menjadi pekerjaan yang belum selesai. Sehingga memerlukan Kementerian Budaya sendiri dan Kementerian Agama sendiri. Sehingga berimbas pada lembaga lembaga pendidikan, antara sekolah dan pesantren, bahkan ditambah lagi “madrasah” pada masa pendudukan Jepang.

Namun, sejalan sejarah, pesantren tidak mengalami penyurutan, bahkan kian bertambah tambah. Sementara sekolah terus mengalami kemunduran, karena tidak cukup efektif di dalam merespon perubahan. Terutama, budaya yang datang. Dari segi susastra, misalnya, sekolah tidak memunculkan banyak nama untuk sastrawan sastrawan nasional, sementara yang berlatar belakang pesantren tidak sedikit. Gejala ini dapat dilihat, ketika dunia penerbitan pernah didominasi oleh kalangan pesantren di Yogyakarta. Artinya, kalangan pesantren cukup responsif di dunia literasi yang baru belakangan ini saja mulai dikampanyekan oleh kalangan sekolah dan lembaga lembaga resmi pemerintah.
Lalu, dimanakah letak keterbelakangan pesantren seperti yang dituduhkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada Polemik Kebudayaan yang lalu?
Target Budaya yang Tak Ada Selesainya
Pesantren tidak menargetkan satu bentuk resmi tentang budaya dan pendidikan di Indonesia. Ia mengalir, walaupun bentuk bentuk terus berdatangan ragamnya. Dan, karena elastisitasnya, pesantren membuka pintu lebar lebar bagi Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tidak jarang, pesantren lebih nyaman membuka diri kepada Kemendikbud daripada Kemenag yang jelas jelas membawahi bidang keagamaan. Artinya, sementara di level negara antara agama dan budaya belum selesai selesai (terbukti dengan kementerian yang terpisah), justeru pesantren dengan elastisitas dan keluwesannya mampu beradaptasi dan bekerjasama. Di pesantren pesantren sudah banyak yang mendirikan SD, SMP, SMA, SMK, bahkan menambah dengan lembaga lembaga kursus yang bersifat spesifik seperti bahasa, bengkel motor, dan seterusnya.
Dengan demikian, pesantren meskipun setiap hari mengamalkan kehidupan agama, tapi tidak mengidentifikasi diri sebagai lembaga agama. Justeru, pesantren lebih mengedepankan budaya dengan tolok ukur etika atau adab secara lebih spesifik. Dari adab itu, kemudian muncul satu geniusitas yang menjadi karakter. Dan, ketika karakter itu mulai dikampanyekan, bahan bahannya sudah ada di pesantren.
Karena keunikan ini, pesantren menjadi perhatian dan penelitian banyak kalangan sarjana dari dalam dan luar negeri, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun nonmuslim.