Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata surau berarti tempat (rumah) umat islam melakukan ibadahnya (mengerjakan sholat, mengaji, dan sebagainya). Mengacu pada makna ini, surau bersinonim dengan kata langgar atau mushalla. Rumah ibadah yang tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan sholat Jum’at. Karena, sholat Jum’at wajib diselenggarakan di masjid.
Namun demikian, melihat fungsi surau begitu penting dalam kehidupan sosial dan adat di Ranah Minang, maka sudah sepatutnya eksistensi surau perlu dikaji secara lebih mendalam.

Nilai Nilai dan Karakteristik
Pertentangan Islam dan adat telah menorehkan sejarah kelam di Ranah Minang. Hal ini ditandai dengan Perang Padri yang berkepanjangan sehingga banyak surau sebagai pusat studi yang menjadi korban dan dibakar. Berlanjut hingga pada masa PRRI dalam motif dan konflik yang sama kendati berbeda aktor pelakunya. Intinya, sama, surau menjadi korban dan pembakaran.
Firdaus Marbun (2017) menyebutkan tiga karakter dan ciri khusus yang dimiliki oleh surau, yaitu agama, adat, dan silat.
Surau memiliki fungsi dan peran sebagai pusat keagamaan melalui pendidikan ilmu ilmu agama seperti dasar dasar ilmu tauhid, akhlak, hukum (fiqh), dan Al Quran. Pada tingkat “advance”, surau juga mengajarkan ilmu ilmu spesial seperti tafsir, bahasa (Nahwu dan Shorof), logika (Manthiq), Kalam, dan thariqah (Tasawuf).
Sebagai pusat inkubasi pendidikan, surau memiliki peran dan fungsi transpormasi adat. Dasar dasar agama menjadi fondasi berdirinya adat istiadat. Sehingga dalam bertutur kata, bertingkah laku, dan bertatakrama dalam pergaulan agama dan adat berjalan seiring dalam balutan tradisi. Pada proses transpormasi ini, agama (Islam) muncul dalam langgam langgam budaya seperti Kato nan Ampek yang memuat “kato mandaki jo kato manurun, kato malereng jo kato mandata”. Dengan kata lain, agama sudah dalam rupa dan bingkai bahasa dan perilaku lokal.
Dari bingkai dan bahasa lokal ini, seorang anak di Minangkabau memiliki tatacara berbicara terhadap yang sama besar, yang lebih kecil, maupun sumando (yang lebih tua).
Adat istiadat Minangkabau yang berbudaya tersebut berisi sopan santun yang telah diajarkan oleh agama (baso jo bahaso) sebagai pelaksanaan praktik praktik agama sebagaimana pandangan filosofis “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Sehingga adat istiadat tidak bisa dilepaskan begitu saja dari hukum (fiqh) agama dalam adagium “Syara’ mangato adat mamakai”.
Tradisi silat atau beladiri dalam pandangan banyak suku-bangsa memiliki nilai nilai, strategi, dan filosofis. Nilai nilai yang mengandung etika di dalam memperlakukan pihak lain. Strategi dalam memperoleh kemenangan yang berakhlak. Serta, filosofi dalam menghadapi kehidupan di dunia yang sementara.
Tradisi “Lalok”, pendidikan semasa bujang, menjadikan surau sebagai sarana kemandirian, bertanggung jawab, serta memperbesar peluang. Pada masa Lalok ini, anak anak bujang diajarkan berbagai macam keterampilan, terutama silat. Silat menjadi media budaya bagi berkembangnya thariqah (tasawuf) sehingga tidak heran, jika kemudian banyak surau yang melahirkan jenis jenis silat seperti Kumango dari Sungai Tarab, Tanah Datar. Silat Kumango ini dulu diajarkan oleh Syekh Abdurrahman atau lebih dikenal dengan panggilan Alam Basifat, seorang guru thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Sammaniyah. Alam Basifat merupakan ejawantah dari ajaran thariqah ke dalam jurus jurus silat yang diajarkan Syekh Abdurrahman di Surau Subarang di Nagari Kumango.
Hingga tahun 1980an, guru mengaji sekaligus guru silat di Ranah Minang hanya terdapat di surau saja. Maka, di rumah rumah penduduk tidak terdapat kamar anak bujang, karena mereka dilatih hidup di alam bebas dengan melalui pengawasan seorang guru, syekh, atau mursyid.
Dengan demikian, bagi kaum laki laki di Minang pada dasarnya tidak punya rumah. Ketika masih kecil, mereka belajar mengaji, silat, berdagang, di surau. Ketika sudah tua juga bercerai dari istri untuk hidup uzlah (mengasingkan diri untuk taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah) di surau. Begitu pula, ketika bercerai (sebagai suami istri) hanya bercelana kotok, tak membawa apapun. Dilihat dari pola budaya ini, kaum lelaki di Ranah Minang pada dasarnya memiliki jalan sufi (thariqah) yang diajarkan secara turun temurun.