Saya ingin mengajak pembaca tafakur sejenak tentang kemerdekaan. Istilah Arabnya “istiqlal”. “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Demikian bunyi pembukaan Undang Undang Dasar 1946 kita. Sebuah pernyataan yang tegas dan berani dari parapendiri bangsa kita.
Bagaimana dengan Afghanistan? Sejak kurang lebih setahun lalu, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 2021, pasukan Taliban telah menduduki Kota Kabul, ibukota Afghanistan. Setelah mereka berjuang kurang lebih 20 tahun. Dan, tentara Amerika beserta sekutunya hengkang dari negeri tersebut. Sementara presidennya, Asyraf Ghani, terpaksa hijrah ke negara lain. Memang, ada sesuatu yang patut dipertanyakan dari kasus Taliban ini. Kok, bisa, mereka menang dengan gampang? Kenapa tidak ada pertempuran habis habisan antara tentara Afghanistan sendiri melawan tentara Taliban?
Banyak dugaan kuat beredar, ada kekuatan raksasa di balik menangnya Taliban, yakni Rusia, China, dan sejumlah Negara di Timur Tangah. Pantas saja, mereka bisa menang dan berkuasa saat ini. Amerika dan sekutunya sudah pasti ada kongkalikong dengan negara negara tersebut. Mereka hanya tukar posisi saja. Intinya tetap, eksploitasi sumberdaya alam Afghanistan dengan segala keuntungan lainnya di berbagai aspek kehidupan. Dengan kata lain, tidak ada yang gratis. Taliban pasti berkompromi, jika ingin tetap “merdeka” di Afghanistan yang sudah tersandera sejak lama.
Apa yang terjadi setelah Taliban berkuasa di Afghanistan? Hilangnya kemerdekaan masyarakat sipil yang tak sealiran dengan mereka. Ribuan orang terpaksa mengungsi, bahkan dengan berjalan kaki ke Turki melalui Iran. Tidak sedikit yang meninggal dalam perjalanan. Para pemuda dipaksa pegang senjata untuk melatih diri dalam situasi berperang jika itu harus dilakukan. Banyak warga Afghanistan yang terpaksa hijrah ke Indonesia. Sebagian anak mereka ada yang mendapat beasiswa di pesantren. Di bawah Taliban, mereka merasa tidak dihargai sebagai manusia. Ini di antara akibat buruk pendudukan Taliban di Afghanistan.
Belum lagi, soal pembatasan akses pendidikan bagi kaum perempuan. Para pelajar perempuan di sana sangat susah untuk bersekolah, bukan karena tidak ada guru dan sekolahan, melainkan karena jenis kelamin mereka perempuan. Ini jelas diskriminasi dan kekolotan yang parah. Padahal, sejak tahun 1990-an, seorang pegiat pendidikan asal Amerika yang bernama Greg Mortenson telah mendirikan tidak kurang dari 50 sekolahan di sana. Antara pelajar lelaki dan wanita punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan layak.
Kebebasan sipil yang lain misalnya menyangkut LGBT juga menjadi problem tersendiri di Afghanistan. Saya tidak mendukung LGBT sama sekali, dan LGBT memang harus dihilangkan, tapi bukan orangnya, melainkan “akidah”nya yang sesat dan menyimpang. Di mana pun LGBT ini tidak boleh berkembang karena mengancam eksistensi peradaban. Jika hubungan apalagi perkawinan sesama jenis dilegalkan, dampaknya akan punah peradaban umat manusia. Saya sepakat Taliban memerangi LGBT, tapi bukan membunuh orangnya, melainkan menyadarkannya untuk kembali ke kodratnya sebagai manusia. Suka atau tidak suka, LGBT memang by design. Memang, diciptakan oleh orang orang superkaya dunia yang umumnya tergabung dalam kelompok Illuminati yang hendak menguasai dunia dengan segala cara.
Walhasil, kemerdekaan yang diraih Taliban memang masih dalam tanda petik. Masih sangat banyak pekerjaan rumah (PR) mereka. Belum lagi, soal pengakuan kedaulatan dari negara negara lain. Semua ini menunjukkan bahwa mengisi kemerdekaan tidak semudah memenangkan peperangan. Wallaahu A’lamu Bisshawaab.