Sejarah pesantren sebagaimana diuraikan dalam “Pesantren dan Selebrasi Intelektual” terdahulu telah mengalami proses yang panjang. Pesantren hadir dalam mengisi kekosongan intelektual yang berkembang di masyarakat, baik di kalangan istana maupun setelah bergeser ke pedesaan. Pesantren bermula dari kehendak masyarakat yang membutuhkan sarana ibadah, pendidikan, dan pengajaran. Biasanya, dipelopori oleh seorang tokoh agama bersama sama masyarakatnya. Pada perkembangannya, terdapat tiga tipologi pesantren yang dapat disebutkan ke dalam kategori kategori berikut: tradisional , modern, dan sistemik.
Pesantren Tradisional
Pesantren model ini masih banyak terdapat di pulau Jawa. Biasa pula disebut dengan sebutan Pesantren Salaf. Dinamakan Salaf, karena masih menggunakan kitab kitab (biasa disebut kitab kuning) karya karya ulama Salafiyah atau sejak dari masa Rasulullah saw hingga 200 tahun sesudahnya. Ulama ulama Salafiyah demikian dipandang sebagai “Generasi Emas”.
Pesantren Lirboyo adalah salah satu pesantren tradisional terbesar di Jawa Timur, di samping masih banyak pesantren pesantren tradisional besar lainnya semisal Pesantren Al Falah Plosomojo, Pesantren Langitan, atau Pesantren Sidogiri Pasuruan.
Ciri ciri yang melatari pesantren tradisional ini yang terutama adalah memelihara tradisi pengajaran dan pendidikan. Tradisi-tradisi pesantren tradisional memiliki elemen elemen: kiai, masjid, asrama, santri, dan kitab kuning.
Kiai adalah pokok utama dari sebuah pesantren. Ia menjadi sentra pengajaran dan pendidikan yang menghimpun masyarakat di sekitarnya. Dari jumlah yang kecil hingga pada jumlah yang besar.
Masjid sebenarnya bukan hal pokok bagi sebuah pesantren rintisan. Mesjid dibutuhkan ketika jumlah masyarakat di sekitar kediaman sang kiai telah memenuhi syarat untuk didirikan. Jumlah tersebut minimal 40 orang lelaki yang memenuhi syarat untuk menyelenggarakan sholat Jumat menurut Mazhab Syafi’i. Kendati, tidak memiliki masjid, pesantren tetap bisa tumbuh. Tapi, masjid menjadi pondasi utama manakala tidak terdapat di suatu kampung yang membutuhkan.
Elemen yang lebih penting bagi sebuah pesantren adalah murid yang belajar kepada seorang kiai. Murid atau santri tersebut bisa dari kalangan masyarakat sekitar atau datangan dari tempat yang jauh. Dari masyarakat sekitar, yang bisa pulang ke rumah masing masing biasa dinamakan santri kalong. Sementara santri santri yang menetap dan menginap di asrama asrama pesantren dalam masa waktu tertentu untuk belajar biasa dinamakan santri mukim.
Kitab kitab kuning sebagai kerangka referensial yang diajarkan di pesantren tradisional ini berpokok pada karangan ulama ulama rentang 200 tahun setelah masa Rasulullah saw. Tergolong dalam ulama ulama ini adalah para sahabat utama, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Ulama ulama generasi kedua dan ketiga setelah sahabat Nabi saw. Sahabat adalah umat Islam yang hidup sezaman dengan Nabi saw., tabi’in adalah umat Islam yang hidup sezaman dengan sahabat Nabi saw, sementara tabi’ tabi’in adalah umat Islam yang hidup sezaman dengan tabi’in.
Generasi ini di dalam literatur intelektual kaum muslimin merupakan era proses menuju kodifikasi keilmuan secara holistik, ketika filsafat dan doktrin-doktrin agama menemukan titik-titik rasionalisasi. Dalam rentang 200 tahun ini, kemudian dikenal dengan sebutan generasi salafiyah. Pada rentang ini pula, berbagai aliran melakukan dialektika intelektual secara intensif, sehngga menemukan titik kulminasi pada sintesis-sintesis silogisme. Diawali dari penerjemahan karya karya ilmuan Yunani hingga merekonstruksi bangunan sendiri ke dalam sistem pengetahuan muslim-Arab.
Sintesis sintesis silogisme ini berpengaruh besar dalam dialektika pemikiran yang berkembang di dunia muslim, ketika muncul beragam argumen di ranah hukum (fiqh), teologi (kalam), etika (tasawuf), maupun sastra dan arah sejarah. Dinamakan arah sejarah, karena dielektika yang timbul semisal Qadariyah versus Muktazilah di ranah Kalam telah melahirkan sintesis kalangan mayoritas Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil jalan konklusi atau jalan tengah akibat dialektika pemikiran yang sedang berkembang. Tradisi jalan tengah yang dipelopori oleh Abul Hasan Al Asy’ari ini secara teologis kemudian menjadi pegangan ulama ulama pesantren tradisional yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Muhammad Abed Al Jabiri membagi ke dalam tiga tipologi nalar (pengetahuan) yang dimunculkan oleh peradaban muslim-Arab sejalan arah sejarah ini: Bayani, Burhani, dan Irfani. Tiga tipologi ini diambil dari unsur-unsur pembentuknya (takwin). Namun, unsur pembentuk yang menjadi ciri khas yang muncul dari budaya Arab adalah Bayani. Sementara Burhani merupakan sumbangan dari peradaban Yunani, dan Irfani disumbang dari peradaban Persia.
Nalar asli Arab, Bayani, melandaskan diri pada budaya literasi. Sebagaimana masyarakat Arab memiliki kebiasaan melakukan gelar susastra berupa syair syair yang dilombakan setiap tahun di pasar Ukaz di lokasi Kakbah.
Intelektualisme di dalam Islam diawali dari perdebatan menafsirkan ayat ayat Al-Quran dalam menentukan suatu hukum. Perbedaan di dalam menafsirkan sebuah kata atau kalimat demikian melahirkan logika-logika strukturalisme sebagaimana Imam Al Syafii yang meletakkan dasar logika qiyasnya di dalam kitab karangannya, Al Um. Pesantren pesantren dan masyarakat Indonesia pada umumnya bercorak tradisional dalam meletakkan dasar pemikiran melalui logika Imam Al Syafii ini. Qiyas menjadi barometer umum dalam mendasarkan pemikiran pemikiran, terutama hukum Islam (fiqh).
Demikian, dari arah sejarah ini, logika qiyas (beserta konklusinya) Imam Al Syafii ini cukup berpengaruh besar bagi dunia muslim dunia di dalam merumuskan teologi (Kalam) sebagaimana Imam Abu Mansur Al Maturidi dan Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Sementara di ranah tasawuf muncul Imam Al Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali.
Dilihat dari aspek pemikiran, intelektualisme pesantren tradisional lebih bersifat referensial, karena merujuk kepada referensi referensi pengetahuan warisan masa lalu. Terutama, era Salafiyah atau rentang 200 tahun pascakenabian.