Pembatasan Pembatasan Belanda
Dalam tulisan Zamakhsyari Dhofier (2011) disebutkan: Belanda telah memberi pembatasan pembatasan terhadap Islam sejak kedatangannya hingga abad ke-19. Belanda memberikan identifikasi pada kaum santri. Di sini, Dhofier memberikan proposisi proposisi: pertama, Islam menyebar di seluruh Indonesia melalui proses yang tidak mudah. Ada tantangan tantangan, tahapan tahapan, dan dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia secara internal. Dengan kata lain, Islam dipeluk oleh sebagian besar masyarakat bangsa Nusantara dengan secara sukarela, bukan karena dorongan Islamisasi. Mengutip dari Riecklefs, tahapan tersebut terbagi ke dalam dua gelombang. Gelombang pengislaman 90 persen orang Indonesia dari pertengahan abad ke-15 hingga selesai pada abad ke-16. Gelombang kedua adalah pemantapan menyadari dan mengamalkan kewajiban Islam. Proses ini tidak pernah selesai. Kedua, pembatasan pembatasan yang dilakukan oleh Belanda telah mempersulit aktivitas kiai sebagai kekuatan sosial, budaya, dan politik, karena para kiai kemudian tidak dapat memainkan peranannya di dunia politik perkotaan dan berpindah ke desa desa dengan membangun pesantren. Ketiga, karena perdagangan dimonopoli oleh Belanda, perdagangan kemudian diambil alih oleh para pengajar pesantren yang merangkap sebagai petani dan pemilik sawah. Keempat, tindakan persuasif gerakan kiai kiai desa lebih mudah melakukan perubahan sosial. Pesantren menjadi sarana menyebarkan dan memantapkan ajaran Islam.
Dengan demikian, eksistensi kaum santri telah ditegasi oleh kehadiran Belanda. Dalam hal kaitan intelektual pesantren, pembatasan Belanda tersebut sangat berpengaruh bagi kelangsungan dan munculnya identifikasi kaum santri sebagai pihak yang cenderung anti pemerintah, juga antikalangan yang tidak seide dengan mereka, karena lebih cemerlang dalam penguasaan keilmuan dan profesionalitas. Kaum santri justeru memanfaatkan situasi perubahan tersebut, di satu sisi tersingkir dari pusat kegiatan kekuasaan dan perkotaan, namun memberi peluang membangun basis di pedesaan di sisi yang lain.
Dampak dari pembatasan pembatasan yang dilakukan oleh Belanda dinilai oleh Dhofier telah menurunkan minat kaum muslimin menduduki posisi posisi strategis di pemerintahan. Hal demikian memberi peluang kaum muslimin melakukan perlawanan kultural dan politik dengan mendirikan pesantren pesantren di desa desa. Dengan kata lain, pergeseran keilmuan yang semula berpusat di lingkaran kekuasaan bergeser ke arah ke pedesaan dengan kiai sebagai figur sentral.
Kasus Raden Mas Sandiyo atau Kiai Nur Iman Mlangi adalah salah satu putera mahkota yang mengundurkan diri dan menyerahkan tahta kekuasaannya kepada adiknya untuk menjadi Raja di keraton Ngayogyakarta. Sang putera mahkota ini sengaja menghindar dari konflik istana setelah perjanjian Giyanti yang memisahkan antara keraton Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta. Raden Mas Sandiyo kemudian mendirikan pesantren di Masjid Patok Negara di Mlangi, bagian barat keraton Kesultanan Ngayogyakarta.