Akar Sejarah Intelektual Pesantren
Disiplin keilmuan pesantren memiliki perbedaan dengan disiplin keilmuan pada umumnya. Disiplin keilmuan pesantren memiliki ciri-ciri: 1) transfomastif; 2) jelas gurunya; 3) diajarkan secara langsung (mushafahah); 4) memiliki nilai spiritualitas. Secara transformatif, guru-guru pesantren memiliki tradisi ”perizinan” dalam mengajarkan ilmu atau kitab tertentu. Seorang guru yang mengajarkan kitab hadis Al Bukhari misalnya akan mendapatkan nama nama garis silsilah (sanad) guru sebelumnya. Tanpa izin tersebut, seorang guru tidak berani untuk mengajarkan atau mengamalkan ajaran atau kitab tertentu. Proses transformasi ini cukup berjenjang dilihat dari kadar kemampuan intelektual sang murid. Jika sang murid dipandang sudah mampu menjalani sendiri kitab atau amalan yang akan diajarkan, biasanya hanya dilakukan prosesi pengesahan saja. Atau, pada taraf konsentrasi yang lebih tinggi, sang murid disuruh membaca kitab yang akan diajarkan atau diamalkan di hadapan guru tersebut. Proses ini dinamakan sorogan. Pada proses kedua, sang guru akan membacakan kitab-kitab tertentu yang akan diajarkan atau diamalkan oleh sang murid hingga hatam. Sang murid akan mengikuti proses transformasi tersebut hingga selesai dan ditutup dengan doa pentup (ikhtitam) dan pengesahan untuk diajarkan. Proses ini dinamakan bandongan. Dari dua tipe transformasi tersebut, setiap selesai prosesi akan ditutup dengan doa selamat dan persedekahan, menyelenggarakan hidangan makan bersama, baik dihadiri oleh para murid saja maupun diikuti oleh masyarakat umum.
Kejelasan seorang guru di pesantren mutlak dimiliki. Biasanya, kejelasan ini ditandai dengan garis silsilah yang jelas, baik genealogi nasab (keturunan) atau keilmuan (guru). Namun, untuk genealogi nasab tidak terlalu penting, kecuali pada tahap penghormatan, tabarukan, dan perizinan. Seorang guru harus jelas pernah belajar di mana, dan sanad apa yang telah dipegang olehnya. Di era belakangan, Syekh Yasin Al Fadani Allahulladzi yarhamhu yang bermukim di Mekah memegang banyak sanad kitab sehingga ia digelari Al Musnid. Guru guru dari berbagai negara akan menyempatkan diri meminta sanad kepada Syekh Yasin Al Fadani tersebut. Dari kejelasan guru ini, maka keraguan dan syak wasangka akan hilang. Kemantapan untuk mengajarkan dan mengamalkan ilmu atau kitab yang diwariskan oleh sang guru tidak lagi mengandung keraguan.
Tatap muka dan ijab kabul (musafahah) dalam proses transformasi pengajaran ilmu atau kitab dari sang guru kepada murid tidak melalui perantara. Kalau menggunakan perantara akan diwakilkan kepada guru guru pembantu (asisten atau badal) di dalam penyampaiannya. Pada proses musafahah ini, antara guru dan murid akan duduk berhadp hadapan disertai dengan ijab kabul dengan bersalaman. Musafahah berarti berjabat tangan. Ada kerelaan sang guru untuk melepas ilmu dan kitabnya kepada sang murid yang sudah dianggap cakap mengamalkan ilmu atau isi kitab tersebut.
Inteletualisme pesantren memiliki ciri pascaempirik. Hal ini dapat dilihat dari karya karya penulisnya yang tidak hanya berbicara pada hal hal formal (fiqh) melainkan juga pada tataran spiritual dan kebatinan. Fungsi aksiologis dari pola ini adalah untuk mengolah rasa. Biasanya, penulis penulis pesantren akan melakukan ritual tertentu ketika menuangkan gagasan dan pemikirannya, baik dengan berpuasa atau melakukan munajat tertentu seperti sholat hajat dan membaca wirid.
Demikian, akar sejarah inetelektual pesantren memiliki ciri ciri khusus meskipun kemudian berkembang secara klasikal, pengajaran di kelas. Proses transformasi tersebut masih berlangsung dari generasi ke generasi hingga kini.