Islam Nusantara sebagaimana sering diungkapkan oleh Buya Said (KH Said Aqil Siroj) bukan sebuah mazhab atau aliran dalam Islam. Tapi, lebih pada karakter manusia Nusantara yang bergama dan berbudaya Islam. Selama ini, pemahaman manusia Indonesia sudah dipecah-pecah oleh Clifford Geertz (1926-2006) menjadi abangan, priyayi, dan santri. Pada ranah politik praktis, tipologi ini sering menjadi kerangka acuan bagi parpol-parpol tertentu di dalam menentukan konstituen.
Sering Terjebak Pada Bias Pandangan
Analis-analis ilmiah, terutama analis politik praktis, memiliki metode dan pendekatan tersendiri di dalam mengumpulkan data-data faktual. Sehingga terkumpul data-data yang diinginkan oleh variabel-variabel yang sudah ditentukan. Bias-bias analisis kemudian menjadi biasa ketika tesis dan konklusi sudah dapat ditentukan sejak awal. Artinya, sudah diketahui hasil dari kesimpulan yang tidak baru. Hanya pembenaran dari tesis awal.
Pandangan konklusif ini masih sering digunakan oleh sebagian besar umat Islam melalui logika-logika Aristoteles yang melahirkan satu analogi, qiyas. Terutama, di dalam menempatkan analogi atau qiyas tersebut pada posisi penting setelah dalil-dalil atau sumber utama Al Quran dan hadis Rasulullah saw.
Kelemahan-kelemahan pandangan demikian menjadikan posisi umat Islam dapat dengan mudah terjebak pada mitologi-mitologi sejarah. Sehingga metode dan pendekatan-pendekatan lain menjadi tidak penting, seperti menjadikan kemaslahatan dalam sebuah objek. Semisal contoh yang paling konkrit adalah proses Islamisasi Nusantara. Apakah manusia Nusantara benar-benar kosong dari nilai-nilai perspektif keislaman ketika dijadikan sebagai keyakinan sebuah agama baru?
“Single Majority” Kultural, Menolak Tipologi Clifford Geertz
Menempatkan manusia Nusantara sebagai subjek yang hidup berarti mereka juga memiliki pandangan dan keyakinan pada agama tertentu, baik Hindu, Buddha, atau (sering disebut pula) kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal ini menurut hasil-hasil penelitian hampir tidak tersentuh pada pandangan-pandangan tekstual agama-agama tertentu. Kaharingan di Kalimantan misalnya yang menampik adanya pengaruh Hindu dan Buddha di dalam ajaran-ajaran mereka.
Dari aspek bahasa, seorang teman bertanya, apakah ada bahasa yang lebih tua sebelum bahasa Arab daripada Ibrani dan Suryani? Bukankah dua bahasa tersebut lahir dari tradisi Abrahamic?
Pertanyaan tersebut mengajak untuk mencari arahan-arahan pada bahasa yang lebih tua yang telah digunakan sebelum Yahudi, Nasrani, dan Islam lahir dan berkembang. Sebab, sejarah agama-agama senantiasa menitikberatkan pada pokok kelahiran ini.
Sejarawan agama sedikit menarik lebih ke atas kepada bahasa yang digunakan oleh umat Nabi Nuh as, melalui putera-puteranya Ham, Sam atau Sem (Semit), dan Yafits. Ketiga putera Nabi Nuh as inilah yang telah menciptakan budaya baru bagi suku-suku-bangsa setelah dunia ditelan oleh banjir bandang. Dunia belum menemukan kehidupan baru sampai anak-anak keturunan Nabi Nuh as menyebar luas dan berkembang. Dari sini, titik tolak sejarah/manusia bermula setelah Nabi Adam as melahirkan anak cucunya.
Dengan demikian, menurut Buya Said, Islam datang ke Nusantara menemukan suku-suku-bangsa yang tidak kosong sejarah ( الواقعية الانسانية). Sejak di zaman azali, pada dasarnya setiap manusia sudah beriman kepada Allah Taala sesuai kepercayaan umat Islam dari dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 172 yang berbunyi;
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”
Berdasarkan ayat Al Quran ini, maka pandangan Clifford Geertz tersebut dapat ditolak. Manusia Nusantara pada dasarnya sudah beriman, bukan dibagi ke dalam corak-corak abangan, priyayi, dan santri. Melainkan proses sejarah manusia di dalam mencari Tuhan.
Cirebon, 29 Mei 2022.