Umat manusia memang diciptakan beragam. Dari sidik jari saja, setiap orang berbeda. Hal ini menandakan kekuasaan Allah swt yang begitu besar hingga perkara-perkara detil dan kecil adalah bagian dari kuasaNya.
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, maka sejak awal pun manusia sudah diajarkan konflik dan bertikai. Qabil yang dibunuh oleh Habil adalah gambaran manusia pertama yang membunuh saudaranya sendiri. Allah telah memerintahkan kepada keduanya untuk melakukan qurban (pendekatan) kepadaNya dengan barang-barang murah milik keduanya, ternak dan sayur-sayuran. Tapi, tetap saja, kekhilafan manusia yang dikuasai oleh nafsu tidak mampu dibendung sehingga qurban itupun harus menelan korban jiwa.
Kisah qurban (mendekatkan diri padaNya) dan korban merupakan bagian dari sejarah dan epos manusia. Dalam kisah-kisah susastra Hindustan (purana), ada disebut pengorbanan aliran darah putera dari Ibu Pertiwi. Dan, seterusnya, kisah-kisah tradisi manusia di berbagai belahan dunia. Penumpahan darah adalah suatu keniscayaan, baik melalui peperangan maupun pengorbanan.
Pengorbanan tertinggi dalam beragam kepercayaan dan keyakinan adalah dipersembahkan kepada Sang Adikodrati. Adikodrati berarti kekuasaan di luar kodrat manusiawi biasa, bisa disebut leluhur, dewa, bahkan Tuhan. Bagaimana dikisahkan sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, ayahnya, Abdullah, adalah korban yang harus dipersembahkan oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Manusia pada zaman Jahiliah seperti tak puas jika tidak berkorban dengan darah dagingnya sendiri. Namun, selayak agama yang beradab di kemudian hari, korban-korban berbentuk manusia dihapus oleh Syariat Muhammad. Dan, levelnya pun ditingkatkan lebih tinggi menjadi qurban. Berkorban demi untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan harga yang lebih murah seperti hewan, buah-buahan, dan sayur-sayuran dengan tanpa mengurangi kualitas pengorbanan.
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pertumpahan darah senantiasa menjadi rutinitas. Mulai dari revolusi fisik menentang Belanda, disusul kemudian pemberontakan-pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, PKI/Madiun, G30S/1965, peristiwa Ninja dan Dukun Santet di Jawa Timur, dan lain-lain. Semua memakan korban darah manusia.
Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) coba melerai dengan cara Syariat Muhammad. Walau darah mendidih hendak dilengserkan dari kursi presiden, namun bagi Gus Dur tidak ada setetes darah manusia pun yang boleh mengalir. Pendekatan qurban jauh lebih elegan sebagai suku-bangsa yang bermartabat dan beradab.
Manusia jauh lebih mudah dipersatukan dengan budaya daripada agama dan politik. Di banyak negara, sering terjadi perpecahan karena perbedaan pandangan dan paham agama. Begitu pula, perbedaan pandangan dan paham ideologi politik bisa menciptakan perpecahan, pertumpahan dan pengorbanan darah manusia.
Suku-bangsa Nusantara dibangun dari satu kata “budaya” yang mengandung makna berbagai aspek kehidupan manusia, baik teknologi, ilmu pengetahuan, adat istiadat, maupun gaya hidup dan arsitektur bangunan. Budaya sendiri diambil dari kata “Buddha” atau ‘Budh” yang berarti telah mengetahui atau telah menyadari sepenuhnya. Di dalam Islam, budaya sebenarnya diambil dari simbol huruf Hijaiyah Ba’ (ب).
Di dalam agama Buddha ada empat capaian seseorang dikatakan Buddha, apabila: menemukan kebenaran (dharma), baik hakiki maupun majazi, berupa “perkara” yang sebenarnya, “berpikir” sebenarnya, “kesulitan” yang sebenarnya, dan “jalan” yang sebenarnya.
Dengan demikian, budaya tersebut bila dikomparasikan dengan pengertian istilah-istilah Arab dapat dibedakan menjadi tsaqafah (ilmu pengetahuan), tamaddun (tataaturan, hukum), hadlarah (gaya hidup, arsitektur), serta adab (susastra). Kota Yatsrib menurut Buya Said (KH Said Aqil Siroj) diambil dari nama pendirinya “Yatsrib”, lengkapnya Yatsrib bin Ubail bin Iwadh bin Aram bin Sam bin Nuh as. Kemudian, dijadikan oleh Rasulullah saw menjadi tamaddun atau madinah, tempat didirikannya tataaturan dan hukum-hukum sosial. Sebuah kota dikatakan berbudaya apabila tataaturannya dan hukumnya berjalan baik, begitu pula sebuah negara dan bangsa dalam skala lebih besar. Umat Islam Indonesia dapat menjadi a single majority in culture apabila bisa memenuhi empat arti tersebut: tsaqafah, tamaddun, hadlarah, dan adab.
Cirebon, 29 Mei 2022.