Sejak beberapa abad silam, umat Islam di seluruh dunia kehilangan anak peradaban yang diagungagungkan, mujtahid. Sejak itu, setelah tertupnya pintu ijtihad (insidad bab al ijtihad), umat Islam dianggap telah memasuki fase kegelapan. Fase muqallid.
Entah, siapakah yang pertama menyebutkan istilah “tertutupnya pintu ijtihad” tersebut? Apakah kalangan umat Islam sendiri? Ataukah dimunculkan oleh kalangan Barat (orientalis)?
Namun, yang jelas, hingga sekarang, umat Islam masih saja tetap lestari dari memproduksi hukum hukum dengan cara mereka sendiri, kendati masa mujtahid itu telah lama berlalu.
Tentang Mujtahid yang Hilang
Sebagian besar umat Islam menerima fase kehilangan mujtahid tersebut. Apalagi seorang mujtahid mutlak yang dapat mengambil hukum secara langsung dari sumber sumber utama, Al Quran dan hadis. Namun, yang jelas, khazanah keislaman sesungguhnya telah membumi di seluruh dunia. Hanya saja, ibarat pohon dan buahnya, keislaman tersebut sudah tumbuh dan berbuah, namun tidak ada yang merawat dan diurus. Tidak ada yang memangkas dahan dahan dan dedaunan agar berbuah lebat. Tidak ada yang memupuk, sementara buahnya senantiasa ditunggu jatuhnya. Tidak ada yang mereproduksi buah buahnya menjadi sajian sajian yang bersifat lebih variatif seperti minuman perasan kaleng misalnya. Kalaupun ada, hanya orang orang yang menakik batang pohon tersebut agar mudah dipanjat. Dan, menunggu pohon berbuah yang sedikit itu dari musim ke musim. Sementara pohon itu kian kuat menghujamkan akar akarnya dengan batang yang tokak tokak* menunggu saatnya tumbang.
Ada semangat untuk membudidayakan pohon langka itu.Tapi, masih belum menemukan cara yang tepat. Sementara telah banyak buah buah karbitan lain yang sudah bisa diterima di atas meja dalam seketika.
Untuk membudidayakan dan melestarikan pohon langka itu memang memerlukan strategi tersendiri. Tidak saja dengan cara mempelajari reproduksi buah buah pohon tersebut dalam varian yang beragam, tapi ada tiga ilmu dasar setidaknya yang paling mudah dipelajari bagi kalangan awam: tafsir, susastra, dan sejarah. Sehingga kaum awam tersebut tetap bersemangat untuk tidak sekadar menunggu buah buah jatuh, melainkan mampu membudidayakan pohon pohonnya dengan berbagai cara. Baik dalam menghadapi cuaca sehingga bisa ditanam di setiap tempat dengan kualitas buah yang tak kalah lezatnya dari buah pohon pertama.
Kemajuan hukum Islam di dalam menjawab hampir semua persoalan umat Islam telah menempatkan fiqh sebagai yang utama. Sehingga bisa dikatakan, fiqh adalah induk keilmuan umat Islam. Dan, sejak dini, memang, umat Islam sudah dikenalkan dengan praktik praktik fiqh sehari hari. Sehingga seolah dengan tanpa fiqh tersebut tidak akan bisa masuk surga. Doktrin fiqh ini, baik bagi kalangan mayoritas maupun kalangan dari “Islam anyaran” menjadikan yang utama, bahkan sumber konflik. Misal, hanya persoalan membaca qunut dan tidak pada waktu sholat Subuh, satu kelompok bisa mendirikan masjid baru. Padahal, dengan tafsir, susastra, dan sejarah, umat Islam sudah bisa bercerita. Minimal, kabar atau mitos dari mulut ke mulut. Meskipun, mitos atau fiksi dapat diverifikasi kebenarannya pada “suatu saat”.
Sehingga yang menjadi persoalan sebenarnya adalah rasa enggan untuk “bercerita” atau “menceritakan” kembali. Dari rasa enggan tersebut, muncul rasa apatis untuk mengenal lebih dekat, apalagi hingga mencintai hingga ke sumsum tulang.
Padahal, tafsir, susastra, dan sejarah adalah materi paling mudah untuk menyampaikan “cerita” secara transformatif. Maka, langkah awal untuk keluar dari problem problem umat Islam di dunia pada dasarnya adalah berangkat dari problem problem itu sendiri yang terserak dan tak terawat. Ibarat daun daun yang tak berguna karena tidak dapat menumbuhkan pohon baru. Padahal, melalui rekayasa genetika saat ini, DNA yang dimiliki pohon tersebut dapat dikloning dari daun daunnya.
Demikian pula cerita, tidak bisa diabaikan begitu saja. Suatu saat, akan tumbuh pohon yang lebih konkrit, karena dari cerita cerita tersebut problem problem terkumpul dan terserak.
Gampangnya, banyak kalangan perguruan tinggi yang berbicara teori teori “dekonstruksi” dan “rekonstruksi”, namun tidak tahu yang harus didekonstruksi dan direkonstruksi.
Cerita yang Acap Luput dari Perhatian
Salah satu sosok dari kalangan pesantren yang masih gigih menyuarakan “cerita cerita” keislaman di Indonesia saat ini adalah Abuya Husein Muhammad. Meskipun, orientasi “cerita cerita”nya masih bersifat “mainstream”, wa bilkhusus Turki, Damaskus, dan Mesir. Namun, bakat susastra yang dimiliki Abuya Husein tidak sekadar menceritakan secara gradual dan verbal saja, melainkan kekhasan “subtil” yang terkadang tidak terpikirkan atau sama sekali orang lain tidak menemukan jawabannya. Dari hal subtil tersebut, Abuya terus memberi rangsangan khususnya kepada kalangan muda, baik dari pesantren, akademisi, dan awam dengan memotivasi cerita cerita yang barangkali bisa diterima dan direkonstruksi. Semisal, pandangan pandangan “tabu” tasawuf yang sering “dimusuhi” oleh kalangan fiqh seperti “wihdatul wujud”, dihadirkan oleh Abuya dengan referensi yang tidak bisa disangkal oleh kalangan pesantren sendiri, Ihya Ulum al Din. Bagaimana Imam Al Ghazali berbicara tentang konsep “wihdatul wujud” tersebut dengan tanpa menghadirkan sosok Syekh Al Akbar Ibn Al Arabi yang kontroversi. Begitu pula, bagaimana menghadirkan konsep “wihdatul wujud” tersebut ke dalam realitas sehingga tidak sekadar “wacana” yang mengawang.
Motivasi “cerita” Abuya Husein Muhammad tersebut diantaranya disampaikan di hadapan para mahasantri Ma’had Ali, Pesantren Lirboyo, Kediri, pada Selasa, 30/8/2022. “Pesantren ini hebat,” ungkap Abuya Husein, memuji, “masyhur dan amat keren. Santrinya kini mencapai lebih dari 30 ribu. Ia telah menghasilkan ribuan alumni. Sebagian diantaranya menjadi tokoh ulama besar dan berpengaruh di tingkat Nasional, bahkan di dunia.” Abuya Husein menyebut beberapa nama yang masih melekat dalam ingatannya seperti Mbah Maemun Zubeir, Abuya Dimyati Rois, atau bahkan KHA Mustofa Bisri. “Aku bangga dan merasa terhormat, karena menjadi santri sekaligus bagian dari keluarga besar Pesantren ini,” katanya, merendah.
Kehebatan Pesantren Lirboyo, menurut Abuya Husein, karena memiliki empat dasar keilmua klasik seperti Gramatika bahasa Arab (Nahwu Sharaf), Susastra Arab (Balaghah), logika Aristotelian (Manthiq), dan Metodologi Hukum (Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyah). Secara spesifik, Pesantren Lirboyo dikenal, memiliki kekhasan di bidang Gramatika bahasa Arab.
Abuya Husein menambahkan, “Ada satu ilmu atau pengetahuan yang jarang menjadi perhatian pesantren pada umumnya. Padahal ini, menurutku sangat penting bagi proses pengembangan keilmuan. Pengetahuan itu ialah Sejarah Peradaban Islam (Hadlarah Islamiyah). Selain Sirah Nabawiyah dan Tarikh Khulafa al Rasyidin.”
Perhatian Abuya tersebut tentu tidak keluar dari koridor khazanah keislaman. Bagaimanapun, kitab suci Al Quran dan hadis Rasulullah saw adalah sebentuk “cerita cerita” sebelum dibukukan dan disakralkan. Berapa banyak cerita dalam Al Quran yang berbicara tentang sejarah? Begitu pula, berapa banyak hadis yang menceritakan tentang “sejarah” kehidupan Rasulullah saw? Kalaupun ada yang mempersoalkan, apakah Al Quran dan hadis tersebut fiktif, maka hal itu merupakan persoalan akademis yang memiliki fondasi berpikir skeptis untuk meragukan semua yang ada, bahkan termasuk Tuhan. Bukan persoalan umat Islam pada umumnya.
Dari “cerita cerita” tersebut, kemudian lahirlah khazanah keilmuan yang begitu luas yang dihadiahkan untuk umat Islam dan alam semesta.
*bolong tertakik