Sedikit terkejut juga mendengar ungkapan demikian, bukankah akhir akhir ini guru telah mendapat kesejahteraan yang cukup dari pemerintah?
Entah, Dimanakah yang Salah
Jika merunut pada perundang undangan, Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), serta kurikulum yang berlaku, sebenarnya tidak ada lagi alasan guru tidak mencerdaskan muridnya.
Program program literasi sebenarnya cukup membantu dalam memantau perkembangan anak didik, apalagi didukung oleh kecanggihan virtual saat ini. Tapi, mengapa masih ada ungkapan: guru tak lagi mencerdaskan muridnya? Belum lagi, guru guru telah memiliki forum sendiri, terutama forum bidang studi yang diajarkan. Harusnya, mereka lebih fokus dengan pelajaran yang mereka ampu untuk diterapkan pada siswa ajarnya.
Melalui grup grup rombongan belajar (rombel), sang guru memiliki keleluasaan memantau murid muridnya setiap saat.
Apakah kebijakan belajar mengajar ini harus secara terpusat sehingga tugas tugas mengontrol anak anak siswa didik bisa lebih intensif? Apakah kemerdekaan belajar tidak cukup memberi keleluasaan bagi guru di dalam mengembangkan kreasi dan inovasi sendiri?
Pengalaman yang Mentradisi
Untuk keluar dari tradisi yang sudah berlarut larut tidak mudah. Tidak segampang kebijakan. Dalam hal merubah kurikulum, juga bukan sesuatu yang mudah seperti saat ini. Memerlukan proses bertahun tahun untuk penyesuaian. Belum lagi, standarisasi menyebabkan paraguru harus mengikuti serba aturan yang sudah berlaku.
Tradisi tidak sepenuhnya buruk. Pada dasarnya, suatu tradisi memiliki pandangan dan pemikiran yang berpijak pada akar budaya. Tradisi yang buruk adalah yang mengalami stagnasi. Bagaimanapun, tradisi adalah ruh yang berkamuflase. Ia memerlukan kontemporerisasi yang lentur dalam menyikapi perubahan perubahan. Dengan kata lain, tradisi buruk adalah kekakuan.
Keinginan dari “out siders”, tradisi sebaiknya dirubah. Dari yang acak menjadi tertib. Dari yang beragam menjadi seragam. Bila perlu, “casing” dan perangkatnya pun dirubah. Tapi, kalangan “in siders” tetap mempertahankan ruh yang hidup. Memang, merubah pola dan gaya hidup tidak mudah karena harus diimbangi dengan naiknya intensitas dan mobilitas. Meningkatnya kesejahteraan tentu memiliki konsekuensi, terutama pada kasus kasus birokrasi.
Pada negara yang menganut sistem pertumbuhan ekonomi, lembaga lembaga pendidikan juga mesti mempertimbangkan kenaikan pertumbuhan tersebut. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan pola pola penyelenggaraan pendidikan.