Ada yang bertanya, “Sejak kapankah kesenian ludruk mulai dikenal di Jawa Timur?” Tentu, sebagai salah satu corak kesenian, ludruk mulai dikenal sejak orang Jawa Timur mengenal kesenian darma.
Mengidentifikasi latar belakang kemunculan kesenian drama di Jawa Timur memang tidak mudah, karena harus menelusuri jejak pertama kesejarahan manusianya. Pada masa raja raja, mulai dari Kanjuruhan, Singasari, Kediri, hingga Majapahit, manusia Jawa Timur sudah mengenal kesenian drama sebagai bagian dari hidup mereka untuk menghibur diri. Hal ini terlihat dari relief relief yang terpahat di dinding dinding candi, kesenian topeng, dan kesenian yang dipanggungkan.
Namun demikian, ludruk terlahir dari budaya urban. Artinya, setelah terjadinya percampuran antarsuku-bangsa karena faktor faktor politik, perdagangan, dan batas wilayah. Bahkan, di satu sisi, juga melibatkan budaya suku-bangsa asing seperti Belanda, China, dan Arab. Maka, tidak heran, jika kemudian ludruk dapat menampilkan gaya bahasa yang terbuka. Tidak hanya sebatas pada bahasa Arek.
Arek
Kata “Arek” digunakan dalam bahasa sehari hari untuk sebutan bagi kalangan muda seperti “Arek iki”, anak ini. Namun, sering disebut salah sebagai kalangan yang suka berkelahi yang diidentikkan dengan kata “Carok” atau “Arok”. Meskipun, dengan motif motif yang berbeda seperti dalam mempertahankan hargadiri. Seperti ungkapan orang orang suku-bangsa Madura dalam mempertahankan hargadiri; “Lebih baik putih tulang daripada putih mata”. Artinya, lebih baik mati daripada harus menanggung malu.
Kata “Arek” pada kasus berbeda memiliki arti “saudara”. Seperti ungkapan, “Ana ta sira ari ika Kadiri?” Apakah Anda saudara dari Kediri?”
Belum diketahui, apakah kata “Arek” ini merepresentasikan sistem yang berlaku di kerajaan pada masa lalu atau telah menjadi bahasa popular? Begitu pula, apakah sistem kasta juga berlaku pada kebudayaan kerajaan kerajaan di Jawa Timur? Jika sistem kasta itu berlaku, maka ungkapan kata “Arek” dapat digambarkan sebagai representasi budaya popular yang berlaku di luar istana. Corak budaya Hindu(stan) menurut salah satu pendapat bukan seperti corak agama agama dari Timur Tengah yang mengedepankan formalitas prasyarat adanya Tuhan (melalui sesembahan/ibadah), kitab suci, dan nabi atau utusan. Sebab, bagi penganut Buddha sendiri, Buddha adalah bukan sebuah agama, melainkan ajaran tentang moral atau “dharma”. Orang orang Bali juga menyebut ajaran mereka sebagai “Dharma” atau dikenal setelah Orde Baru sebagai “Hindu Dharma”. Pada masa Orde Baru tersebut, semua agama kemudian diformalkan dengan syarat dan prasyarat yang diajukan oleh Kemneterian Agama.
Arek dalam konotasi masyarakat terbuka selayak masyarakat populer dengan kehidupan yang bebas tanpa ada aturan yang ketat dari pihak pihak kerajaan atau pemerintah setempat. Merela memiliki aturan tersendiri sebagaimana kemudian muncul satu aliran “Bhirawa” yang membolehkan ritus rirtus di luar ritus kepercayaan dharma. Kerumitan semacam ini yang terlepas dari perhatian sejarawan, seolah kepercayaan Hindu(stan) berbeda dengan ajaran Buddha. Padahal, Buddha di India merupakan ajaran yang bersifat revolusioner pada ritual ritual yang “sulit” selayaknya Syiwa, Wisnu, atau Brahma.
Dengan demikian, budaya “Arek” bisa dikatakan populer manakala dilepas dari struktur yang berlaku dalam system kerajaan. Namun, perlu penelitian lebih detil, apakah memang demikian atau justeru system kerajaan di Jawa Timu r malah tidak mengenal kasta?
Fase Fase Ludrukan
Dilihat dari perkembangannya, seni drama Ludrukan memiliki dasar dasar yang terbuka dan cair. Seni drama ini-karena mengandung alur-bisa dilakukan di setiap tempat sehingga untuk kehidupan sehari hari hamper tidak bisa dibedakan antara hidup yang sebenarnya dan hasil rekayasa dari sebuah narasi. Spontan! Ludruk dapat dilakukan setiap saat dan menjadi gaya hidup seadanya. Meskipun, setidaknya, untuk perlengkapan-agar terkesan serius-diperlukan aksesoris aksesoris selayaknya pentas drama. Karena sifatnya yang terbuka dan cair, ludruk terus mengalami evolusi dengan budaya budaya baru yang datang. Oleh karena itu, ludruk mengalami proses dalam beberapa fase diantaranya:
Fase Kelahiran, Cak Santik. Meskipun ludruk tidak dapat diidentivikasi waktu kelahirannya karena menjadi budaya sehari hari, namun parapenulis sejarah ludruk sering mengaitkan dengan seorang tokoh yang bernama Pak Santik. Diawali kisah oleh Pak Santik yang ingin menghibur anaknya seorang diri sehingga ia mengenakan pakaian laksana badut wanita. Tindakan Pak Santik ini menjadi inspirasi untuk mencari uang dengan berkliling dari kampung ke kampung guna menghibur warga.
Fase Stambul, kalangan kiai. Dengan banyaknya kaum santri yang belajar di Mekah, ada di antara mereka yang mengenal gaya hidup orang berpakaian Arab atau Turki. Unsur unsur pakaian ini kemudian menginspirasi lahirnya cerita parasahabat Nabi Muhammad saw. Dan, ludruk tidak lagi disajikan dengan apa adanya (blakasutha). Narasi narasi mulai terbentuk dan pada saat yang sama muncul lakon Besut dan Rukmini. Ludruk mulai ditampilkan di atas atas panggung resmi, meskipun tidak sedikit parakiai yang menolaknya.
Fase Tonil, Belanda. Terbentuknya Negara Hindia Belanda beserta pendirian pabrik pabrik dan perkebunan perkebunan di Jawa Timur telah memberi inspirasi untuk menjadikan ludruk sebagai tontonan bagi kalangan elit Belanda. Dan, tidak sedikit pekerja pekerja pabrik kemudian “nanggap” ludruk di sekitar pabrik gula. Pada fase ini, parakiai yang semula tidak setuju dengan kesenian drama ludruk mengambil sikap kian menjauh dan berjarak. Ludruk kemudian mulai terpolarisasi secara budaya, terutama di kalangan elit Belanda yang tertutup.
Fase Sandiwara, Jepang dan awal kemerdekaan. Kalangan seniman memanfaatkan seni drama ludruk sebagai sarana bersandiwara. Istilah “sandiwara” muncul sebagai alat untuk menyampaikan pesan pesan dengan kata kata sindiran. Kata “sandi” dan “wara wara” (penyampaian pesan) menjadi alat untuk mengritik pihak Jepang sebagaimana kemudian muncul sanepa Cak Durasim yang terkenal: “Pagupon omahe doro, melu Nipon tambah soro”. Sanepan atau sindiran halus tersebut memberi pesan pesan kritik social terhadap pemerintahan Jepang yang berkuasa pada saat itu.
Fase Pasca-Revolusi. Meskipun, pada masa Revolusi, ludruk dapat digunakan sebagai sarana menyampaikan pesan pesan rahasia, namun pada masa awal kemerdekaan yang penuh gejolak, ludruk menjadi identitas kelompok. Terutama, Ketika partai partai politik memiliki “underbow underbow” yang mendaku ludruk sebagai identitas politik. Ludruk tidak lagi bebas kepentingan, melainkan sebagai alat propaganda propaganda politik. Pelaku pelaku ludruk tidak sedikit yang diidentikkan dengan pengikut Partai Komunis Indonesia. Mereka dicap kaum abangan yang jauh dari kehidupan kaum santri yang taat menjalankan agama. Hal ini pula menjadi bahan legitimasi Cliffort Geerz untuk memecah hubungan secara trikotomi antara kalangan ningrat (priyayi), santri, dan abangan.