Sejak zaman Polemik Kebudayaan, cemooh terhadap tradisi dan pesantren santer terdengar. KHA Wahab Chasbullah-ketika mendirikan partai-tak luput dari cercaan sinis. “Mana bisa orang pesantren membikin partai?” kira kira demikian cemooh saat itu, karena KHA Wahab Chasbullah menyatakan keluar dari Partai Masyumi. Begitu pula, tak segan segan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) meminta agar meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Modern adalah jawaban atas kemunduran bangsa Indonesia di mata bangsa bangsa asing. “Kita tak bisa hidup seperti pada zaman zaman Borobudur dan Prambanan,” demikian, kira kira. Selengkapnya dapat dibaca pada Polemik Kebudayaan.
Dalam banyak hal, M. Nurcholish Madjid (Cak Nur) banyak menyoroti perkembangan politik dan budaya di Turki dan Jepang. Di satu sisi, Turki “dianggap maju” karena telah meninggalkan tradisi mereka seperti pendidikan madrasah. Terlepas, apakah Kemal Attaturk dari kalangan Yahudi atau bukan yang memelopori Turki Muda untuk merebut kekuasaan Kaisar, yang jelas Turki telah menjadi negara yang “modern” dari segi birokrasi dan militer. Sebaliknya, kemodernan Jepang karena bertahan pada tradisi mereka dengan kukuh. Jepang juga maju di bidang militer dan teknologi dengan tanpa mengabaikan tradisi kerajaan mereka.
Keheranan justru muncul, ketika pendidikan madrasah di Turki ditiadakan, pesantren di Indonesia masih tetap mampu bertahan. Terutama, dalam meregenerasi ulama. Meskipun, tidak sedikit muncul kelompok kelompok modernis dan fundamentalis “modern” yang turut meminggirkan pesantren dengan isu isu agama mereka yang sumir. Walhasil, kemodernan yang mereka capai dan raih adalah “kelangkaan ulama”. Tidak ada stok ulama yang dihasilkan dari kerja kerja modernisasi mereka.
Dan, ketika modernisme mulai ditinggalkan di tempat kelahirannya sendiri, Barat, bahkan Arab Saudi mulai kembali kepada tradisi, kesadaran pada kemodernan itu, kalangan modernis dan fundamentalis mulai kehilangan arah di zaman yang tidak penuh dengan kepastian seperti saat ini. Kelemahan kelemahan pesantren di muka sekolah sekolah umum yang dipandang selama ini ternyata tidak memiliki alasan pasti. Problem problem karakter, budaya, dan moral telah menunjukkan wujud aslinya melalui korupsi, kriminal, dan ketimpangan ketimpangan sosial lainnya. Kemajuan di bidang birokrasi dan militer tidak menjamin kemajuan budaya.