Dalam pengertian umum, genre (istilah serapan untuk ragam), adalah pembagian suatu bentuk seni atau tutur tertentu menurut kriteria yang sesuai dengan bentuknya. Dalam semua jenis seni, genre adalah suatu kategorisasi tanpa batas-batas yang jelas.
Karena, ketidakjelasan kategorisasi batasan-batasan genre tersebut kemudian orang Indonesia, terutama kalangan sastrawan, mengartikan genre sebagai fakultas untuk sebuah aliran. Dengan demikian, jika ada pertanyaan genre tulisanmu apa? Maka, akan dijawab sastra sejarah, sastra psikologi, sastra saintis, sastra Islami, sastra sufi, dan seterusnya. Pemahaman ini sudah umum sejak sastra Indonesia mulai dikenalkan melalui periodesasi-periodesasi dan ciri-cirinya.
Pengetahuan Kognitif
Hal ini berdampak pula pada kategorisasi tafsir-tafsir ayat suci Al Quran. Ignaz Goldziher (1850-1921) memberi kategorisasi-kategorisasi tafsir ke dalam bentuk-bentuk tafsir bi al ma’tsur, bi al ra’y, isyari, dan bahkan sekarang ditambah lagi menjadi tafsir tematik atau maudlu’i. Padahal, setiap manusia itu memiliki kadar pengetahuan yang terbatas dan dikurung oleh pengetahuan kognitifnya.
Pengetahuan kognitif adalah mental seseorang dalam menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu keadaan atau peristiwa. Dalam kondisi mental demikian, seseorang akan memberikan suatu tanggapan-tanggapan logis berdasarkan dari pengalaman-pengalaman dan bahan-bahan bacaannya. Dia bisa saja lepas dari pijakan-pijakan dasar suatu bidang ilmu karena berhasil menghimpun rumusan sendiri. Atau, bahkan, memiliki banyak pengetahuan tentang metodologi berpikir ilmiah.
Orang yang sama sekali tidak pernah sekolah, tapi berhasil menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan pengalamannya ke dalam rumusan yang dibuatnya sendiri bisa jadi ia memiliki pengetahuan kognitif. Hal ini banyak terjadi pada kalangan pelaku tasawuf atau petani yang praktis bekerja di sawah dengan mengandalkan “ilmu titen”nya. Sehingga ia bisa dikatakan telah memiliki genre meskipun tidak didasarkan dari ilmu-ilmu di sekolah.
Multitalenta
Kebanyakan “orang-orang cerdas” memiliki beragam kepandaian dan keahlian. Mereka dikenal dengan sebutan “multitalenta”.
Sebetulnya, tidak demikian. Semua keahlian itu memiliki satu rumus dasar. Misalnya dalam satu beladiri, baik karate, silat, kungfu, dan lain-lain memiliki satu pola dasar dalam pembentukan karakter melalui latihan penguatan kuda-kuda. Setelah kuda-kuda tersebut sudah dipandang kokoh, maka baru diadakan pengembangan-pengembangan pada teknik-teknik yang lain melalui jurus dan tingkat pemahaman filosofi. Secara teknik gerakan dan pengetahuan dari pengalaman, maka membentuk satu pengetahuan baru yang dinamakan kognitif. Dengan kata lain, seseorang memiliki dapat memiliki satu pengetahuan kognitif hingga akhirnya disebut genre karena memiliki pijakan dasar. Hal ini yang membedakan antara satu orang dengan yang lain.
Demikian pula, dalam dunia tafsir, pijakan dasar bisa saja serupa atau ada kemiripan dengan mempelajari dasar-dasar bahasa, matematika, serta pengalaman-pengalaman pemahaman keagamaan. Namun, hal tersebut dapat berkembang menjadi pengetahuan kognitif dan genre sendiri. Kalaupun berikutnya memiliki pengikut, maka hal demikian merupakan sebuah konsekuensi saja.
Buya Syakur Yasin memiliki dasar-dasar pendidikan di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Dari dunia yang mengajarkan tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, kehidupan yang teratur, serta pengalaman-pengalaman yang kemudian kian berkembang setelah melanglang buana hingga ke Damaskus, Tunisia, hingga ke Inggris.
Dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al Quran, pengantar dari aspek bahasa yang biasa digunakan di pesantren-pesantren Indonesia pada umumnya sebagai pengantar. Barulah kemudian dijelaskan melalui berbagai perspektif dan pengalamannya yang ahli di bidang tafsir. Tentu, bisa didapati keterangan-keterangan tentang tasawuf, pengertian huruf, laku, kritik, maupun implementasinya di alam kekinian, Indonesia.