Jombang-Net26.id Sebagaimana telah dilansir beberapa media sosial, baik cetak maupun elektronik, upaya pencabutan izin operasional Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah (Ponpes Shiddiqiyyah) telah dibatalkan oleh Menteri Agama ad interim Muhadjir Effendy pada Senin, 11/7/2022. Sehingga dapat mengobati rasa khawatir 998 santri yang masih menempuh pendidikan di Ponpes tersebut.
Dalam rilisnya, Selasa, 12/7/2022, Buya Uki Marzuki selaku Sekretaris Jenderal Majelis Mujahid NKRI memandang positif langkah tersebut. “Keputusan bijak yang diambil Menteri Agama ad interim Muhadjir Effendy yang telah mengembalikan izin operasional Pondok Pesantren Shiddiqiyyah adalah langkah tepat agar peserta didik, para santri, kembali mengikuti kegiatan belajar yang ada di Shiddiqiyyah,” tulisnya, “semua hal yang terjadi tidak boleh mengganggu semua aktivitas pesantren.”
Buya Uki Marzuki menilai, “Penetapan pencabutan yang dilakukan Direktur Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Kemenag RI terlalu prematur, karena tidak melihat persoalan secara jernih. Jika memang Ponpes Shiddiqiyyah tersebut telah mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari hukum formal berarti selama ini memang tidak ada komunikasi antara pihak Kemenag dan pihak Pondok Pesantren Shiddiqiyyah. Ini sangat disayangkan. Apalagi kasus ini sudah lama dan berlarut-larut seolah Kemenag tidak memiliki peran dan fungsi pengawasan. Minimal komunikasi di antara kedua belah pihak.”
Sebagaimana diketahui, pembatalan pencabutan izin operasional Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, dilakukan setelah tiga hari sebelumnya Kementerian Agama (Kemenag) RI resmi mencabut izin Ponpes sejak Kamis, 7/7/2022. Hal ini menyusul peristiwa penangkapan paksa putera kiai pengasuh Ponpes yang tersangka kasus pencabulan.
“Itu perkara yang menimpa oknum, bukan kelembagaan. Kalaupun ada upaya preventif yang dilakukan pihak Ponpes untuk melindungi putera kiai, itu urusan kepolisian dan oknum-oknum yang terlibat. Bagaimana prosesnya, pihak kepolisian jauh lebih paham dan memiliki protap sendiri. Sementara hubungan Kemenag dan Ponpes adalah hubungan kelembagaan, bukan personal. Jadi, harus bisa dinilai secara objektif,” tandas Buya Uki Marzuki. “Kewajiban thalabul ilmi bagi para siswa dan santri di pesantren jangan sampai terganggu, apalagi berhenti hanya karena problem yang sedang dihadapi oleh salah satu personil di Ponpes itu. Sebab, prinsip belajar adalah long life education atau dalam hadis minal mahdi ilallahdi. Jadi, harus terus belajar sampai nyawa lepas dari raga. Ponpes Shiddiqiyyah adalah sarana belajar agama dan pengetahuan umum yang dibutuhkan oleh umat dan masyarakat. Oleh sebab itu, kami sangat mendukung sikap Pak Muhadjir untuk mengambil langkah ini. Semoga ke depan tidak ada lagi pencabutan izin pondok pesantren tanpa alasan dan ketelitian yang jelas sehingga dapat menimbulkan fitnah yang jauh lebih besar dan dapat berimbas pada pesantren-pesantren lainnya.”
Bagi Buya Uki, masyarakat tentu sudah jauh lebih dewasa dalam menyikapi persoalan yang menimpa Ponpes Shiddiqiyyah ini. Tindakan berlebihan justru akan menimbulkan efek dan stigma tidak baik terhadap institusi-institusi bersangkutan. Sebab, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negeri para santri. Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren sudah mencapai puncak kepuasan. Sekarang, pesantren sudah tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi para founding father NKRI adalah para santri. Sunaryo, pelopor Sumpah Pemuda, adalah santri. Bung Karno pernah nyantri kepada KH Cholil Jombang semasa kecilnya. Kakek Bung Hatta punya pesantren di Sumatera Barat. M Yamin terlahir dari keluarga sultan di Medan. KHA Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo sudah jelas kesantrian mereka. Opini publik jangan sampai digiring pada upaya-upaya liberalisme dan sekularisme seolah-olah bangsa ini tidak lagi memiliki etika dan budaya dengan mempertontonkan kebodohan-kebodohan pada publik.
Masyarakat sudah dapat menangguk hikmah dan puncak kearifan yang akan dilalui oleh setiap orang. Masa transisi itu memerlukan transmisi. Meskipun kehendak manusia dilakukan dengan berbagai cara, tapi benih-benih kebaikan tetap akan tumbuh dan berbuah.
Dalam pengamatan Buya Uki Marzuki selama di Ponpes Shiddiqiyyah, filosofi yang dibangun oleh pendiri Ponpes Shiddiqiyyah, KH Muchtar Mu’thi, semacam sedang menerima terpaan angin besar dengan ujian yang besar pula. Ibarat pohon besar, cengkeraman akar-akar kebaikan akan berbuah lebat, meskipun ada daun-daun yang berguguran. Dengan seleksi alam, bibit-bibit baru akan tetap tumbuh menyemai dengan kualitas biji dan benih lebih baik.
Tidak mudah untuk menjadi seorang mursyid dengan lima juta orang pengikut. Butuh waktu lama. Tentu, iri dan dengki akan senantiasa menyertai pada siapapun tanpa terkecuali. Biarlah nanti sejarah yang akan berbicara! Setidaknya, KH Muchtar Mu’thi sudah memberikan yang terbaik bagi masyarakat lingkungannya, bangsa, dan tanah air.
Buya Uki Marzuki juga membandingkan dengan pernyataan sahabatnya di Bali. Umat Hindu Bali yang mengerti sejarah merasa berterima kasih kepada umat Islam. Dengan Islam, masyarakat Jawa mampu menangkal aksi-aksi negatif Mo Limo yang diajarkan oleh sekte Bhairawa. Itu ajaran sesat menurut versi Hindu, tapi mampu dibasmi oleh umat Islam. Jadi, tidak perlu lagi ada bahasa dan istilah premanisme di Ponpes Shiddiqiyyah. Mereka adalah santri-santri binaan KH Muchtar Mu’thi.