Jombang-Net26.id Selama ini, Pondok Pesantren (Ponpes) Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, dikenal tertutup untuk umum. Semua kegiatan dan aktivitas thariqah dijalani secara tertutup. Lalu, apa yang salah dengan ketertutupan itu?
Tidak Ada yang Aneh
Semua berjalan normal seperti pesantren-pesantren yang umum di Indonesia. Sebagai pondok pesantren yang berbasis thariqah Shiddiqiyyah, Ponpes tersebut memiliki gubah atau pasulukan. Sehingga ada prosesi kesetiaan (baiat) untuk menjalankan syariat Islam. Demikian, esensi dari sebuah baiat. Setiap manusia oleh Allah Taala sudah dibaiat langsung ketika berada di dalam kandungan sebagaimana firmanNya dalam surat Al A’raf ayat 172;
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Hanya saja, setelah lahir ke dunia, manusia tersebut ditentukan Nasrani, Yahudi, atau Islam oleh kedua orang tuanya. Sehingga mereka lupa pada perjanjian awal (baiat) kepada Allah tersebut. Di dalam Islam, baiat secara langsung kepada Allah Taala selalu diperbaharui dua kali setiap lima waktu di dalam sholat wajib (maktubah). Ketika orang sholat diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada dua duduk kesaksian (tasyahud). Jadi, agar tak lupa, setiap mukmin dan muslim senantiasa “restarting” baiatnya ketika sholat lima waktu.
Allah Taala sebagai Sumber Cahaya
Ada renungan Buya Uki Marzuki ketika mengenal KH Muhammad Muchtar Mu’thi yang biasa akrab disapa dengan panggilan Kiai Tar. Seorang mursyid (guru thariqah) sekaligus pendiri Ponpes Shiddiqiyyah. Kiai Tar akrab dan berdakwah kepada kalangan-kalangan yang biasa hidup di dunia hitam. Jika merujuk kepada Gus Miek (KH Hamim Tohari Djazuli, 1940-1993) atau Gus Miftah (Miftah Maulana Habiburrahman), maka tidak berbeda jauh dengan metode dakwah Kiai Tar. Hanya karena Kiai Tar sering mastur (samar), maka dia tidak semasyhur seperti Gus Miek atau Gus Miftah yang viral di berbagai media sosial.
Maka, jika kemudian Kiai Tar dan Ponpes Shiddiqiyyah terkesan tertutup, karena semata menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik karena pengikutnya banyak. Hal demikian merepotkan dirinya. Belum lagi intrik-intrik politik yang culas dan kejam. Sering tamu-tamu yang datang sowan kepadanya tidak ditemui. Apalagi thariqah-kalau tidak dipahami oleh sesama pengamal thariqah-hanya akan mengundang fitnah.
Bagi Buya Uki, Allah Taala adalah sumber cahaya dengan kekuatan dahsyat tak terhingga. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al Nur ayat 35;
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۙ
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah memberi petunjuk dengan cahayaNya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Di dalam thariqah, setiap pelaku thariqah (salik) akan seperti seekor laron yang mendekati sumber cahaya. Jika tidak kuat, maka dia akan jatuh. Orang yang tidak paham thariqah hanya akan mengumbar fitnah. Oleh karena itu, mengajarkan thariqah memerlukan strategi tersendiri agar tidak tertimpa fitnah seperti membuka komunikasi secara luas serta tidak meninggalkan amaliah-amaliah yang berlaku umum. Karena, bagaimana pun juga, Islam adalah agama konsensus. Kalau ada perselisihan paham atau pendapat agar kembali kepada Allah (Al Quran) dan RasulNya (sunnah), dan (ijma’) ulama sebagai pewaris Nabi saw.
Para penyebar Islam awal di Nusantara dalam melakukan dakwah tidak serta merta langsung mengajarkan fiqh, karena ada kewajiban-kewajiban yang dapat memberatkan (taklif) kebiasaan. Islam didakwahkan dengan cara yang mudah (الدين يسر). Harus dengan cara dan pendekatan-pendekatan yang mudah. Berpuasa itu memberatkan bagi orang yang tidak terbiasa berpuasa misalnya. Maka, kewajiban tersebut dapat diganti dengan cara yang lebih ringan semisal membayar fidyah. Jika berpuasa itu perlu latihan dan kebiasaan, maka dakwah demikian sudah harus dilatih dan diajarkan sejak masih anak-anak.
Orang-orang Nusantara lebih mengedepankan etika dan penghayatan agama secara mendalam daripada belajar akidah yang rumit. Mereka merasa lebih bebas dalam ekspresi dan apresiasi. Oleh karena itu, diperlukan strategi khusus untuk mengenalkan Islam agar mudah dihayati dan diapresiasi. Apalagi jika membaca sebuah hadis di dalam kitab kecil seperti Bulughul Maram, ketika Rasulullah saw ditanya tentang syarat masuk Islam. Maka, Rasulullah saw menjawab, “jujur”. Hanya jujur. Belum syahadat, fiqh, dan kewajiban-kewajiban berat lainnya. Rasulullah saw lebih mengedepankan etika dan penghayatan daripada akidah seperti dakwah-dakwah para mudda’i zaman sekarang. Buat apa ibadah rajin kalau etika tidak benar?
Di dalam sejarah hukum Islam, fiqh juga diterapkan secara bertahap (tadarruj) dan tidak sekaligus. Perlu latihan-latihan. Maka, Rasulullah saw pun bersabda;
انما بعثت لاتمم مكارم الأخلاق
Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Sempurnakan dulu akhlak, baru yang lainnya.