Sering dan bahkan viral bermacam-macam praktik thariqah memiliki konotasi supranatural. Sehingga setiap pelaku thariqah dapat melakukan segala sesuatu di luar kemampuan manusia biasa. Oleh karena itu, jauh-jauh hari, paraulama memberikan batasan-batasan syariat agar tidak terjerumus pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan fitnah.
Pelanggaran Syariat
Pelanggaran-pelanggaran syariat atau dalam bahasa lebih populer disebut sebagai وانهوا عن الفحشاء والمنكر, mencegah kerusakan dan kemungkaran, adalah penekanan utama di dalam thariqah. Sehingga thariqah dalam bahasa Jawa sering diartikan pula dengan sebutan “tirakat”, diambil dari kata bahasa Arab “الترك” atau “ترك المعاصي” yang berarti “meninggalkan maksiat”. Lalu, apa yang dimaksud dengan maksiat? Maksiat adalah segala perkara yang dilarang oleh hukum (syariat), baik individu maupun sosial, sehingga mendatangkan kemudaratan, baik bagi individu juga sosial, seperti meninggalkan sholat, malas berpuasa, enggan membayar zakat, enggan menunaikan haji padahal mampu, melanggar norma-norma sosial seperti mengganggu jalanan umum (قطع الطارق), mengganggu rumah tangga orang lain, mengganggu keamanan sosial, menyebar isu-isu bohong, menentang pemerintahan yang sah, dan lain-lain. Jadi, bentuk-bentuk yang dilarang oleh agama adalah kemaksiatan.
Tapi, di dalam thariqah, meninggalkan kemaksiatan sebetulnya lebih ekstrim lagi. Karena, kemaksiatan tidak saja diukur dari aspek-aspek lahir saja, melainkan aspek-aspek batin. Misal, kerentek hati menentang hukum (syariat) yang sudah jelas-jelas ditetapkan oleh Al Quran maupun sunnah. Itu sudah dihitung maksiat. Termasuk, lupa berzikir kepada Allah Taala meskipun hanya sebentar.
Oleh karena itu, semua bentuk perintah ketaatan kepada Allah Taala, adalah untuk membersihkan hati, jiwa, dan seluruh badan dari unsur-unsur maksiat. Sholat, berpuasa, membayar zakat, pergi haji, sedekah, memberi nafkah, dan lain-lain pada hakikatnya adalah untuk membersihkan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran yang ditimbulkan oleh hawa nafsu. Orang lupa berpuasa, karena hawa nafsu. Orang lupa membayar zakat, karena hawa nafsu, dan seterusnya.
Kenikmatan Semu
Banyak orang bisa menjadi lupa (ghafil) karena telah diberi kelebihan-kelebihan nikmat. Bisa jadi, ujian dan cobaan terberat berbentuk kenikmatan-kenikmatan sehingga menyebabkan lupa. Ia masih dikejar-kejar oleh bayangan-bayangan (اغيار), dikira nikmat padahal fitnah dan azab. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Hadid ayat 20 berikut;
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Ketahuilah, sungguh kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, (pamer) perhiasan dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Di akhirat (kelak) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah, serta keridaanNya. Sungguh kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.
Cobaan terberat bagi pelaku-pelaku thariqah. Mereka lupa pada tujuan sesungguhnya kepada Allah Taala. Dimudahkan dalam memperoleh rezeki, diberi kedudukan tinggi, diberi kenyamanan fasilitas, tampak baik dalam pandangan manusia, dan seterusnya.
Mereka diiming-imingi oleh kelebihan-kelebihan karena amaliah dan wirid-wirid mereka. Merasa paling dekat kepada Allah Taala. Sehingga tidak sungkan-sungkan untuk men-setting diri menjadi “wali”. Wali pesanan sponsor. Padahal, semakin dekat kepada Allah Taala semakin besar peluang untuk menjadi kufur, bahkan kafir. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 34;
وَاِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡٓا اِلَّاۤ اِبۡلِيۡسَؕ اَبٰى وَاسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ الۡكٰفِرِيۡنَ
Ingatlah, ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun bersujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri sehingga ia termasuk golongan yang kafir.
Dari ayat ini tampak jelas, kalau kekafiran itu bukan disebabkan karena tidak beriman kepada Allah Taala. Iblis adalah makhluk Allah yang paling beriman karena mendapat kesempatan langsung berjumpa denganNya. Di sisi Allah, ia mendapat kenikmatan-kenikmatan fasilitas dan pengharapan. Namun, ia menjadi kafir karena sebab membangkang perintah Allah dan berlaku sombong.
Jadi, jangankan melanggar aturan-aturan syariat yang tampak jelas di mata, dalam kondisi beriman dan merasa istimewa di sisi Allah saja, itu sudah dihitung maksiat.
Semoga bermanfaat!