Karena terlalu banyak thariqah di dunia ini, ulama akhirnya berkesimpulan kalau thariqah itu sebanyak tarikan nafas makhlukNya. Memang, untuk menjelaskan tentang thariqah tidak semudah mengajarkan fiqh dan ushulnya karena sudah memiliki kaidah-kaidah khusus.
Tidak ada kaidah-kaidah khusus tentang thariqah ini akhirnya terus terjadi kesimpangsiuran pemahaman karena ketentuan pastinya memang sudah masuk ke dalam wilayah prerogatif Allah Taala. Bisa jadi, seseorang buruk dalam pandangan manusia, tapi baik dalam pandangan Allah Taala. Begitu pula sebaliknya, seperti baik dalam pandangan manusia, tapi justru buruk dalam pandangan Allah Taala.
Syekh Syuaib Jamali Al Bantani
Dari berita resmi yang dilansir, sanad thariqah Shiddiqiyyah bermula dari pertemuan KHM Muchtar Mu’thi (Kiai Tar) dengan gurunya, Syekh Syuaib Jamali di Banten. Sebelumnya, Kiai Tar yang pernah menimba ilmu kepada ayahnya di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, melanjutkan mesantrennya di Pesantren Rejoso, Peterongan, dan Pesantren Tambakberas kepada KHA Wahab Chasbullah. Untuk memenuhi kepuasan batinnya mendalami thariqah, Kiai Tar muda kemudian menjadi santri kelana dengan berziarah ke makam-makam parawali di pulau Jawa. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan Syekh Ahmad Syuaib Jamali di Banten.
Sebagaimana diketahui secara umum, Banten merupakan gerbang barat masuknya Islam ke Pulau Jawa sehingga banyak thariqah yang berkembang di sana yang dibawa oleh para ulama. Dalam keterangannya, Kiai Tar mendapatkan sanad thariqah Shiddiqiyyah dari Syekh Ahmad Syuaib Jamali yang mengamalkan thariqah Khalwatiyah.
Thariqah Khalwatiyah adalah salah satu thariqah mu’tabarah yang diamalkan oleh Syekh Yusuf Al Makassari. Syekh Yusuf pernah singgah di Kesultanan Banten dan menjadi guru spiritual di sana hingga akhirnya dibuang oleh Belanda ke Afrika Selatan.
Hanya saja, pesan dari Syekh Ahmad Syuaib Jamali kepada Kiai Tar untuk menggunakan nama Shiddiqiyyah apabila telah jumeneng, tinggal menetap dan istiqamah di suatu tempat.
Moderatisme JATMAN
Sangat disayangkan, kesimpulan Zamakhsyari Dhofier, penulis buku Tradisi Pesantren, dalam meneliti thariqah Shiddiqiyyah tidak tuntas. Bahkan, dalam memotret tradisi pesantren juga demikian sehingga terkesan seperti sedang “kejar tayang” dalam penulisan bukunya tersebut. Hal ini dapat dibandingkan dengan kesimpulan Martin Van Bruinessen yang menyatakan banyak thariqah yang kehilangan “sanad”nya karena proses transmisi yang rahasia serta bercampur baur dengan tradisi dan menjadi budaya sebagaimana fenomena “sedulur papat limo pancer”, “manunggaling kawula lan gusti”, serta “meraga sukma”. Kesemua fenomena tersebut bisa memiliki istilah yang berbeda-beda di setiap tempat dan daerah. Juga, di dalam masing-masing thariqah.
Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyah (JATMAN) cukup responsif dalam menyikapi persoalan-persoalan thariqah yang berkembang di Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari sejarah berdirinya JATMAN sendiri yang mengumpulkan ulama-ulama ahli thariqah untuk membentuk wadah semacam “tashih” atau “tarjih”. Sehingga ditetapkan ada 40 lebih thariqah yang dianggap sahih atau mu’tabarah. Kemu’tabaran ini secara referensial dan proses transmisinya memiliki sanad (silsilah guru) yang jelas dan bersambung kepada Rasulullah saw. Sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU) yang selalu berpegang (mu’tamad) pada sikap kehati-hatian (ikhtiyath) untuk menghindari fitnah-fitnah yang timbul belakangan. Dalam perkara thariqah mu’tabarah ini, telah ditetapkan pula kitab-kitab tasawuf yang dapat dijadikan pegangan dan tuntutan dalam mengamalkan suatu thariqah.
Memang, disadari Islam sudah tersebar dan masuk ke dalam sendi-sendi budaya mayoritas masyarakat muslim di Nusantara. Namun, tidak sedikit jumlah umat Islam yang benar-benar telah menjalankan ibadah sesuai fiqh seperti sholat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Ada di antara mereka yang secara etika sesuai dengan ajaran tasawuf, tapi belum menjalankan amalan-amalan fiqh (syariat) secara tertib. Begitu pula, tidak sedikit umat Islam yang menjalankan amaliah-amaliah yang dalam kacamata thariqah tidak termasuk ke dalam salah satu thariqah tertentu. Namun, amaliah-amaliah tersebut tetap dianggap sah sesuai dengan thariqah di luar thariqah mu’tabarah tersebut. Mereka disebut parapengamal mulazamah. Umat Islam yang sudah berthariqah secara umum dengan berpegang pada amaliah-amaliah tertentu seperti melazimkan bacaan Asma Al Husna, budaya membaca surat Yasin pada masyarakat, atau mewiridkan bacaan kitab-kitab tertentu seperti Ihya Ulum Al Din, kitab-kitab hadis, dan lain-lain. Pada aspek kesenian, atraksi Debus, tari Angguk, wayangan, upacara bersih desa atau mandi di sungai menjelang Ramadhan, peringatan Ruwahan (Nadran) dan haul adalah model-model thariqah yang membudaya dan mentradisi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dengan demikian, meskipun Shiddiqiyyah tidak dipandang mu’tabarah dan menurut Zamakhsyari Dhofier tidak terdapat di luar Indonesia, tapi nasibnya tidak sendirian. Shiddiqiyyah masih sama persis seperti thariqah Wahidiyah, Dzikrul Ghafilin, dan majelis-majelis pengajian rutin lainnya. Juga, tidak sedikit “wali-wali mastur” yang bersembunyi di gunung-gunung, menyamar menjadi pengemis dan orang-orang gila, dan seterusnya.