Pada masa awal berdirinya, Pesantren Tebuireng itu tidak ada namanya. Ini merupakan representasi tingkat sufistivikasi Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari yang tinggi. Bahkan, orang-orang menyebut nama Kiai Hasyim saja jarang. Mereka biasa menyebut Kiai Tebuireng.
Teori Dafn Al Wujud
Di dalam sambutannya, Rabu, 6/7/2022, KHA Mustai’in Syafiie menyampaikan kalau Hadratussyekh itu wali yang mastur sekaligus juga masyhur. Mastur karena Hadratussyekh memakai teori “Dafn Al Wujud” dari Syekh Sayid Ibnu Athaillah Al Sakandari dalam kitabnya “Al Hikam”. “Dulu, di kelas-kelas (madrasah) Aliyah (Pesantren Tebuireng) masa saya belajar, kitab itu diajarkan,” terangnya. Makna “Dafn Al Wujud” tersebut sebagaimana telah diungkapkan dalam satu bait;
اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ
Kuburlah wujudmu di dalam bumi ketiadaan; maka segala yang tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya.
Wujud yang diungkapkan oleh Syekh Sayid Ibnu Athaillah tersebut bukan dalam pengertian ragawi atau badaniah, namun dalam bentuk jiwa. Karena, setiap manusia memiliki hawa nafsu yang selalu ingin menonjol, senang apabila mendapat pujian, limpahan harta, keluarga terpandang, viral, dan seterusnya. Maka, agar berbuah baik, maka tanamkanlah sedalam-dalamnya eksistensi jiwa tersebut.
Kembali kepada Realitas
Dalam kenyataannya, Hadratussyekh adalah kiai aktivis yang mobile. Kemampuannya tidak hanya sebatas nadhari (menalar) semata, namun juga aplikatif, responsif terhadap keadaan atau realitas.
Orang yang biasa bergaul atau semrawung di dalam keramaian sering mengalami kehilangan eksistensi dirinya. Ia larut ke dalam realitas. Misal, seorang kiai atau ulama yang alim ketika hidup di dalam lingkungan kebodohan, maka ia juga akan larut ke dalam kebodohan itu. Lebay pada situasi. Ada orang joged, ia akan ikut pula joged. Ada orang nyanyi, ia juga akan nyanyi. Sehingga gugur dan luntur kekiaian dan keulamaannya. Namun, wali yang masyhur meskipun ia hidup dan larut di dalam realitas lingkungan kebodohan, dia tetap menunjukkan eksistensi jiwanya. Karena, jiwanya sudah tertanam dalam-dalam sebagai jiwa yang terpelihara.
Banyak kaum terpelajar zaman sekarang yang memasturkan diri. Tidak mau cawe-cawe dalam kehidupan realitas. Mereka menyembunyikan diri dengan atas nama intelektualitas dan objektivitas, karena takut dirinya tercemar. Sehingga yang muncul dan mengemuka adalah fatwa-fatwa kebodohan. Dengan atas nama dan embel-embel wali mastur tadi. Wali yang sengaja menutup-nutupi dirinya agar bisa disebut wali, padahal menyimpan kesombongan intelektual.
Kritikan yang ditujukan kepada Hadratussyekh adalah apakah benar beliau seorang yang alim? Seorang yang ahli hadis? Jika memang ia seorang yang alim, lalu manakah karya-karyanya yang otentik dalam bentuk buku yang utuh tentang hadis?
Perbandingan ini tidak bisa disamakan dengan ahli-ahli hadis yang masih terikat pada koridor ilmu musthalah hadis. Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk hadis. Tapi, sudah dalam bentuk implementatif. Tidak ada yang meragukan kalau Imam Al Syafii itu seorang yang ahli hadis. Tapi, dia mampu merumuskan satu sistem hukum ke dalam bentuk sebuah surat panjang yang ditujukan kepada penguasa Baghdad pada waktu itu. Sehingga rumusan tersebut di kemudian hari dikenal dengan sebutan kitab “Al Risalah” yang berarti surat. Demikian pula, Hadratussyekh. Dia terus berinteraksi dengan realitas, tanpa meninggalkan eksistensi jiwanya; menulis kurasan-kurasan secara parsial. Dari kurasan-kurasan tersebut, ibarat biji-bijian, menumbuhkan satu pohon “pemikiran baru” yang besar dan dapat mewakili pemikiran umat Islam pada zamannya. Tidak berangan-angan ingin menulis kitab besar yang padat referensi, tapi tidak pernah terwujud, tidak selesai-selesai, jauh dari realitas, hingga ajal menjemput.
Demikian, mengapa wacana kita menjadi sangat buruk kualitasnya? Di Inggris, tik tok joged-joged itu tidak laku, tapi di Indonesia malah sebaliknya. Wallahul Musta’an.