Putra Sang Fajar itu telah memberi kharisma besar bagi suku-bangsa Indonesia di tengah-tengah kancah dunia. Ia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, event oleh raga tingkat dunia “Ganefo” di Jakarta, berani keluar dari PBB, dan membangun visi negara-negara Gerakan Non Blok (GNB). Hal ini telah menarik perhatian dunia kepada Indonesia sebagai suku-bangsa yang patut diperhitungkan.
Kiprah dan keberanian sikap Presiden Pertama RI tersebut belakangan telah menginspirasi Mahamatir Muhammad dalam memimpin kebangsaan Malaysia sehingga ia dijuluki sebagai The Little Soekarno.
Terlahir sebagai Intelektual
Keberhasilan Ir Soekarno dalam membangun visi Indonesia bukan karena hobinya blusukan ke berbagai daerah di Indonesia. Itu hanya sekadar bonus saja. Kemampuan sesungguhnya dalam menghimpun berbagai macam aliran, agama, suku-bangsa, ras, dan bahasa ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah visi yang luar biasa. Di samping, kepiawaiannya menggalang kekuatan potensi bangsa. Memang, program “Berdikari”nya belum menghasilkan kesejahteraan yang maksimal bagi bangsa dan negara. Sebagaimana cerita-cerita orang tua, tingkat kemiskinan masih sangat tinggi. Namun, kemampuannya menuangkan kebijakan dengan menasionalisasikan aset-aset Belanda, menyiapkan SDM yang disekolahkan di berbagai negara maju, serta perhatian besarnya terhadap budaya dan agama menjadi nilai plus tersendiri. Maka, dengan tidak segan-segan, KH Baidlowi Lasem (ulama NU dari Lasem) memberinya gelar “Waliyul Amri Al Dlaruri bi Syaukah”. Satu dukungan konsep umat Islam, terutama dari kalangan pesantren, terhadap dirinya.
Dari segi gagasan-gagasannya yang tertuang di dalam beberapa tulisannya, memiliki kesamaan visi dengan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari yang mengedepankan politik kebangsaan. Dari visi kebangsaan ini, nasionalisme dapat menampung dan berkompromi dengan berbagai macam ideologi pada saat itu. Dari kebangsaan ini pula, manusia berbudaya yang memerlukan inspirasi-inspirasi agama, adat istiadat, dan kemodernan dapat menjadi kekuatan besar. Pada masa Orde Lama, berbagai persoalan-persoalan yang mendasari berbagai konflik secara perlahan menemukan bentuk ujungnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kelahiran Pancasila sebagai “world view” suku-bangsa Indonesia, terlepas dari pro dan kontra dalam menyatukan visi tersebut, telah menjadi pondasi kuat bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memang, setiap persoalan memerlukan solusi. Bagaimanapun setiap masa ada tokohnya sendiri. Demikian pula, pada masa Orde Baru, ketika meningkatnya resistensi ideologi-ideologi besar di dunia yang menghendaki kehidupan otoritarianisme negara-negara di dunia, maka kehadiran Soeharto sebagai tokoh pada zamannya adalah bagian dari sejarah tersendiri. Dengan konsep pembangunan yang mendasarkan pada ekonomi dan stabilitas negara, maka konsekuensi yang harus dibangun adalah membuka peluang-peluang investasi, sesuatu yang sebenarnya ditolak oleh Ir Soekarno. Masyarakat suku-bangsa Indonesia secara ekonomi memang dapat meraih kesejahteraan dan kebebasan ekonomi, meskipun demokratisasi yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa belum terlaksana seutuhnya.
Visi Kemanusiaan
Misi kemanusiaan yang sering disuarakan oleh Buya Said Aqil Siroj merupakan jawaban atas realitas kekinian yang harus disikapi dengan serius. Sebab, Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang mampu menampung berbagai visi yang bertentangan, baik agama, suku-bangsa, ideologi, maupun ketahanan dan pertahanan negara, sudah bisa dianggap telah selesai. Artinya, Pancasila tidak perlu dipertentangkan dan dipermasalahkan lagi. Tidak cukup hanya dengan membangun karakter suku-bangsa Indonesia ke dalam negara bangsa (nasionalisme), nilai-nilai kemanusiaan yang tertuang di dalam Pancasila menjadi perhatian Buya Said Aqil Siroj. Manusia yang diambil dari kata insan (bermakna harmoni) benar-benar harus diperjuangkan di tengah-tengah perubahan episentrum dunia. Perang Rusia-Ukraina tidak bisa dianggap remeh dalam perubahan pandangan geopolitik dunia untuk menciptakan keadilan sosial dan kemakmuran semua bangsa di dunia. Agama tidak bisa dijadikan satu-satunya jalan dalam membangun keadilan tersebut. Hal ini disebabkan karena agama telah menjadi problem besar antarsuku-bangsa di dunia sejak Perang Salib, Perang Dunia Pertama dan Kedua, serta Perang Timur Tengah belakangan ini. Maka, harmonisasi agama, suku-bangsa, dan kepercayaan harus mendapat tempat di dalam membangun peradaban dari berbagai aspek, diantaranya aspek tasaqafah (ilmu dan pengetahuan), aspek hadlarah (teknologi dan arsitektur), aspek hukum (tamaddun), serta aspek susastra (adabiyah). Susastra menjadi penting karena bisa menjadi cermin jiwa suku-bangsa Indonesia di dalam membangun harmoni.
Dari problem-problem akut yang sedang melanda dunia saat ini seperti Covid-19 dan perang dagang yang tak seimbang, memerlukan dukungan pandangan kemanusiaan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan. Pancasila adalah suara-suara kemanusiaan universal yang harus disuarakan dalam situasi dan kondisi saat ini. Masyarakat perlu turut berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa.