Sejarah pembentukan Jam’iyyah Ahlit Thariqah An Nahdliyah digagas oleh KH Nawawi Berjan, Purworejo. Kala itu, Kiai Nawawi, demikian panggilannya, merasa khawatir karena mulai banyak praktik-praktik thariqah di masyarakat. Belum lagi, kalau ada masalah musykilat (problematik), hal itu akan berimbas buruk pada pengamal-pengamal thariqah.
Maka, tak lama kemudian, berkumpullah ulama-ulama ahli thariqah di Magelang untuk merumuskan sebuah wadah organisasi untuk menjawab isykal-isykal yang terjadi di masyarakat.
Faham yang Sulit Dimengerti Awam
Ahlussunah wal Jama’ah itu terma yang sulit dipahami, karena begitu banyak definisi yang muncul. Sehingga setiap organisasi bisa saja mengaku Ahlussunah wal Jama’ah, tapi pada praktiknya tidak. Mereka membuat firqoh (kelompok) sendiri dengan atas nama berpaham Ahlussunah wal Jama’ah.
Banyak kalangan mendefinisikan kata Ahlussunah wal Jama’ah dari pengertian sebuah hadis Rasulullah saw. Namun, bukan dalam pengertian konteks sejarah. Sehingga setiap orang atau kelompok sering memberikan definisi masing-masing.
Ahlussunah wal Jama’ah lahir dari proses sejarah umat Islam, meskipun merujuk kepada sebuah hadis.
Setelah Rasulullah saw wafat, umat Islam mulai terpecah ke dalam banyak firqoh (kelompok). Hal ini dipicu karena sebab-sebab penerus tongkat estafet kenabian dan perbedaan persepsi pada penafsiran. Hingga memasuki persoalan yang paling fundamental, pembukuan (kodifikasi) Al Quran.
Peristiwa-peristiwa politik hingga perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran juga menyebabkan umat Islam berselisih dan menegasikan diri masing-masing.
Secara konseptual, Ahlussunah wal Jama’ah sering merujuk kepada paham Kalam Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari, tapi gerakan mayoritas pada aspek politik menjadi dasar legitimasi Ahlussunah wal Jama’ah. Misal, ketika para sahabat cenderung berbeda pemahaman, namun pendapat mayoritas yang mengangkat Al Khulafa Al Rasyidin sebagai penerus Rasulullah saw dipandang jauh lebih selamat. Mereka yang mayoritas itu adalah Ahlussunah wal Jama’ah. Begitu pula selanjutnya, ketika Muawiyah bin Abi Sufyan memenangi proses politik dari Sayyiduna Ali bin Abi Thalib dan didukung oleh mayoritas umat Islam, dia dianggap Ahlussunah wal Jama’ah. Karena, belakangan, kelompok yang mendukung Sayyiduna Ali bin Abi Thalib menjadi berkurang dan minoritas.
Dari paham mayoritas inilah, pandangan baik (common sense) bagi umat Islam menjadi mengemuka dengan melalui mekanisme musyawarah untuk menyampaikan aspirasi dan inspirasi. Aspirasi dan inspirasi ini bisa berupa pendapat pribadi atau merujuk kepada teks-teks Al Quran dan hadis. Sehingga keputusan puncaknya apabila sudah disetujui dalam forum bersama melalui kesepakatan bersama (ijma’).
Hakikat Jomblo dalam Thariqah
Jika tidak dalam kondisi mendesak dan latihan (riyadlah), umat Islam memang seharusnya senantiasa berjamaah sebagaimana firman Allah Taala dalam surat Ali Imran ayat 103;
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (konsensus) Allah, janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan. Allah kemudian mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.
Jomblo dalam berthariqah merupakan fenomena umum. Hanya saja, hakikat jomblo ini menjadi hakikat syattari. Hakikat keintiman individu seorang hamba kepada Allah Taala. Keintiman ini bisa dibangun melalui media sholat, puasa, wiridan, dan zikir. Sehingga dalam kondisi berjamaah pun frekuensi keintiman tersebut masih tetap bisa dipertahankan. Jadi, baik sendiri maupun bersama-sama, hakikat kejombloan adalah keniscayaan. Karena, tingkat “on turning frequency”, ta’alluq, sebisa mungkin dipertahankan.
Mengasingkan diri atau uzlah dapat saja dilakukan oleh setiap individu untuk meningkatkan konsentrasi dan latihan dalam menemukan jatidiri. Namun, yang tersulit adalah tetap konsentrasi ketika berada dalam lingkaran jama’ah. Dalam istilah thariqah Naqsyabandiyah biasa disebut sebagai “Dar Anjuman”, bertapa di tengah keramaian.
Memang, dalam hakikat diri sebenarnya tidak menjadi persoalan hal demikian, bahkan dianjurkan. Namun, ketika sendirian kadang lebih gampang menerima cobaan-cobaan, godaan-godaan, bahkan fitnah. Oleh karena itu, meskipun telah berhasil menemukan hakikat diri sebaiknya memang harus tetap berjamaah, membangun komunikasi dan nalar positif “common sense”. Hal demikian akan menjadi masalah manakala lebih-lebih dengan membangun firqoh sendiri, terlepas dari jama’ah dalam membangun nalar sehat. Terutama, dalam hubungan sosial yang bisa saja dipandang sebagai sebuah patologi.