Perkara mursyid menjadi salah satu persoalan penting dalam thariqah. Sama pentingnya, ketika seseorang bertanya tentang thariqah itu sendiri.
Tapi, untuk memahami thariqah, syariah, dan istilah-istilah lainnya dalam bahasa Arab memerlukan pengertian yang dalam. Tidak sekali ambil langsung paham. Karena, membutuhkan pemahaman (تفهم، تفقه) dari berbagai aspek bahasa dan istilah. Misal, kata fiqh (فقه) menurut bahasa berarti “paham” atau “mengerti”, tapi menurut istilah yang biasa digunakan dalam praktik-praktik hukum bisa berarti “hukum”. Begitu pula, dengan syariah dan seterusnya.
Dialog Nabi Musa as dan Nabi Khidir as
Kontekstualisasi mursyid menurut KHA Musta’in Syafiie diambil dari kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidir as. Dua sosok nabi yang masyhur (Musa as) dan sosok nabi yang mastur (Khidir as). Keduanya, sama-sama “sakti” dalam porsi yang berbeda. Saling melengkapi. Meskipun, pada praktik “dafn al wujud” (menyembunyikan eksistensi diri), yang mastur bisa lebih dekat kepada Allah Taala daripada yang masyhur. Kalaupun masyhur lebih sakti, karena ia banyak menemukan realitas dan metode dalam memecahkan berbagai persoalan. Tentu, dengan syarat harus alim terlebih dahulu.
Masyhur digunakan untuk “nasyr al ulum” (menyebarluaskan ilmu), “nasyr al hadis” (menyebarluaskan hadis), atau “nasyr al sunnah” (menyebarluaskan sunnah), bukan untuk mencari followers yang banyak sehingga dapat duit yang banyak.
Di dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 17;
وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْن وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ ۗمَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
Engkau akan melihat matahari ketika terbit, condong dari sebelah kanan (goa), dan apabila matahari itu terbenam, menjauhi ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas di dalam (goa) itu. Itulah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. (Bagi) orang- orang yang diberi hidayah oleh Allah, maka dialah yang mendapat hidayah; (bagi) orang-orang yang disesatkanNya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang teman pun yang dapat memberi pinarah.
Sebagaimana diketahui, Nabi Musa as dikenal sebagai “nabi masyhur” yang sering mengandalkan nalar, nadhar, atau akal (logika) pikirannya, sementara Nabi Khidir as dikenal sebagai “nabi mastur” yang sering mengandalkan nalar, nadhar, atau akal (perasaan, hissi, dzauq, atau naluri) hatinya. Hati memiliki akal dan pandangan, karena memiliki logika tersendiri. Berbeda dengan (otak) pikiran yang lebih dekat kepada mata dalam memandang sebuah objek. Objek itu akan semakin jauh bila mata terpejam ataupun buta, meskipun pada akhirnya dekat setelah diraba dan dirasa.
KHA Mustai’in Syafi’ie dalam menafsirkan Al Quran surat Al Kahfi ayat 66, Nabi Musa as menggunakan bahasa yang sangat sopan dan mengosongkan diri dari keserbatahuan dirinya.
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa as berkata kepada Khidir as, “Bolehkah aku manut padamu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu pinarah?”
Nabi Musa as kepada gurunya, Nabi Khidir as tidak bertutur “Kiai, saya ingin berguru kepada Jenengan (Anda).” Tidak demikian. Bukan هل اتعلم منك atau على أن تعلم منك, tapi على أن تعلمن, menunjukkan dirinya kosong. Bodoh. Goblok blok, tidak mengerti apa-apa kalau tidak diberi ilmu oleh gurunya. Sehingga tutur yang disampaikan adalah هل اتبعك, “Aku manut”.
Maka, tutur selanjutnya dikatakan مما علمت رشدا, bukan مما علمت علما. Musa as minta diajarkan pinarah yang memiliki wisdom, kebijaksanaan, bukan sekadar ilmu. Jadi, adab menurut Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari itu bukan ilmu, tapi pinarah (رشدا). Ada kesopanan. Sebab, banyak orang berilmu di zaman sekarang yang sombong sehingga melupakan adab.
Melihat keinginan Musa as yang demikian kuat, Nabi Khidir as pun menyangsikan. Tapi, Nabi Musa as bersikukuh seraya berkata, ستجد نى ان شاء الله صابرا، “Engkau akan menjumpai calon muridmu ini orang yang sabar.” Nabi Musa as yang masyhur menonjolkan diri seakan ia sabar menerima pinarah dari Nabi Khidir as. Padahal, tiga kali mengikuti ujian Nabi Khidir, gagal. Tidak lulus.
Berbeda dengan nabi masyhur lainnya, Nabi Ismail as ketika hendak disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim as.
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ
Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya pada pelipis(nya).
Nabi Ismail as menjawab, ستجد نى إن شاء الله من الصابرين. “Engkau akan menemukan diriku termasuk orang-orang yang sabar.”
Di dunia ini, banyak orang yang hebat, banyak orang yang sabar, banyak orang yang pandai. Mudah-mudahan, salah satunya aku. Sles! Nabi Ismail as lulus dari ujian dan langsung diganti oleh Allah Taala dengan qibas yang besar, gemuk, dan sehat.
Dengan demikian, mursyid menurut KHA Musta’in Syafiie adalah orang yang mampu mengajarkan wisdom, kebijaksanaan, sopan santun, dan adab. Bukan sekadar mampu mengajarkan kepandaian semata sehingga melupakan adab.