Nusantara telah dilimpahi khazanah tafsir genre yang luar biasa, khususnya di bidang Al Quran. Sehingga Dr. Islah Gusmian berhasil membukukan hasil penelitian disertasinya mengenai tafsir Al Quran Indonesia. Dr. Islah berhasil mengumpulkan naskah-naskah tafsir serta memberikan kategori-kategorinya. Namun, setidaknya itu sudah lebih baik sebagai titik tolak pembacaan tafsir-tafsir yang lebih konstruktif pada fase-fase berikutnya.
Kemunduran Islam yang Dipertanyakan
Tidak sedikit umat Islam yang mengamini pandangan kemunduran Islam ini yang bertitik tolak dari keruntuhan kota Baghdad pada 1258 Masehi. Negeri-negeri umat Islam di dunia digambarkan sangat buruk karena terjajah, miskin, terbelakang, lemah dari penguasaan teknologi, intelektual mati, dan seterusnya. Kalangan-kalangan modernisme seperti Moh Abduh dan Jamaluddin Al Afghani sering menyuarakan “revival” untuk kebangkitan Islam dengan mengacu kepada Barat yang modern. Disusul kemudian dalam waktu yang belum lama berselang ini, Fazlur Rahman kembali bersuara tentang “revival” atau ‘renewal” Islam. Seolah Islam benar-benar dalam kondisi memprihatinkan.
Padahal, pada khazanah-khazanah tradisional yang selalu diserang, baik dari luar Islam atau modernisme Islam, gerak budaya (terutama intelektual) semakin maju bergerak sebagaimana tafsir-tafsir genre yang terserak.
Kemajuan-kemajuan tafsir genre ini sebenarnya cukup berkembang sebagaimana Ignaz Goldziher berhasil merekonstruksi kembali varian-varian tafsir Al Quran. Meskipun, baru tahap “generate” dan global. Tidak secara parsial dan lokal. Imam Jalaluddin Al Suyuthi misalnya atau nama-nama dari Nusantara seperti Syekh Mahfudz Al Tarmasi yang sangat produktif dalam menulis.
Gagasan Geografis
Ulama-ulama, besar kecil, masyhur dan mastur, sudah tersebar di negeri-negeri yang katanya pernah dijajah. Indonesia katanya pernah dijajah selama 350 tahun, tapi tidak dalam tolak ukur yang jelas. Sementara, negeri-negeri seperti Siak, Aceh, Deli, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Buton, Pontianak, dan lain-lain masih berdiri dan berdaulat hingga berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penguasaan sebagian wilayah Nusantara oleh Belanda dan Inggris telah menjadi modal untuk memetakan Nusantara pada kancah sejarah Internasional.
Pengaburan-pengabutan oleh pandangan global ini berdampak pada stigma “kemunduran”. Umat Islam tidak memiliki kreasi apapun, selain memandang Barat jauh lebih baik.
Nama-nama mufassir lokal seperti Syekh Sulaiman Ar Rasuli dengan karyanya Al Qaul Al Bayan fi Tafsir Al Quran, KH Ahmad Sanusi Sukabumi dengan Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al Quran, KH Bisri Mustofa dengan karyanya Al Ibriz, Kanjeng Raden Pengulu Tafsir Anom V dengan karyanya Tafsir Al Quran Al Adhim li Tabshir Al Anam, dan lain-lain menunjukkan model-model tafsir genre begitu berkembang di Nusantara. Belum lagi di negeri-negeri muslim lainnya.
Bahasa, terutama bahasa lokal seperti Minang, Sunda, atau Jawa, adalah modal utama yang merekam kemajuan-kemajuan umat Islam yang tersebar.
Salah satu ungkapan (hadis) menyebutkan “Sampaikanlah ajaranku dengan mempergunakan lisan umatnya.” Hal ini menunjukkan bahasa, terutama huruf sebagai simbol bunyi, yang padat makna dan sarat arti, memungkinkan transformasi nilai secara sistemik ke dalam nalar komunitas yang menjadi sasaran tumbuh dan berkembangnya ilmu budaya.