Berbeda dengan Sayyid Syekh Najmuddin Al Kubra yang memberi ciri setiap wali adalah memiliki sifat syattari, mandiri selalu berzikir kepada Allah Taala, KHA Musta’in Syafiie dengan mengambil teori “Dafn Al Wujud” Sayyid Syekh Ibnu Athaillah Al Sakandari guna menyembunyikan, menanam di kedalaman, eksistensi diri (kewalian) di hadapan makhluk lainnya.
Namun, sejauh ini, Dafn Al Wujud tersebut masih sering terjadi kesimpangsiuran sebagaimana lazimnya cerita-cerita tentang wali mastur yang tak mau diketahui kewaliannya oleh khalayak.
Wali Mastur
Istilah wali sendiri memiliki beragam makna, namun sering diidentikkan dengan orang yang sangat dekat kepada Allah Taala. Sehingga karena dekatnya, orang yang dinamakan wali akan mendapatkan keistimewaan-keistimewaan di luar kebiasaan manusia kebanyakan (khawariq al ‘adah) atau nyeleneh. Semakin nyeleneh seorang wali semakin pula dianggap paling “sakti”. Ada banyak kitab-kitab yang membahas fenomena-fenomena kewalian ini, terutama kitab-kitab tasawuf. Meskipun tidak sedikit pula yang coba menyederhanakannya. Gus Mus (KHA Mustofa Bisri) misalnya mengartikan kata wali ini dengan pengertian “bala” atau pasukan. Jadi, seorang wali adalah salah satu personil dari balatentara Allah Taala.
Dan, sedemikian pentingnya wali-wali mastur karena sering mengaburkan eksistensinya dengan menyamar dari pandangan manusia, maka tidak jarang pula sering diceritakan ada tim pemburu wali mastur dengan tujuan sederhana untuk meminta keberkahan, keselamatan, dan tidak sedikit yang berharap agar dijadikan wali juga seperti dirinya.
Dalam khazanah cerita-cerita kewalian, thariqah, bahkan para kaum sufi, perburuan ini sering digambarkan seorang murid yang mencari mursyidmya meskipun harus menempuh perjalanan yang begitu panjang melintasi negeri-negeri. Walaupun istilah mursyid tersebut jarang disebut di dalam kisah-kisah pencarian tersebut. Sederhananya, masih ingat, kan, dengan kisah populer “Para Pencari Tuhan”?
Tafsir Genre
KHA Musta’in Syafiie, salah satu sesepuh Pesantren Tebuireng, dikenal sebagai ahli tafsir yang kritis. Ia memiliki kepiawaian mengulas, menganalisis, menilai, serta menimbang satu persoalan yang melingkupi masyarakat sebagai seorang ahli tafsir. Metode cerita yang digunakan olehnya dapat dengan mudah dicerna oleh segenap kalangan, mulai dari kalangan intelektual, mahasiswa, atau bahkan orang awam. Sepintas, metode penyampaian tafsirnya seperti sangat ideologis dari sudut pandangnya yang kritis. Tafsir yang dikemukakan olehnya tidak bisa dipandang sebagai sebuah pandangan umum yang bersifat “generate”. Mengambil kesimpulan dari hasil-hasil (results) yang sudah ada. Melainkan, dari persoalan yang dipandang nyeleneh dan “problem solving”. Gampangnya, ketika ia menceritakan tentang keputusan Imam Al Syafi’i dalam menetapkan matla’ (geopolitik) misalnya. Semua ulama “generate” berkesimpulan matla’ cukup satu, tidak parsial dan lokalistik. Jika di Mekah menetapkan tanggal 10 Dzulhijjah pada hari Sabtu, maka seluruh negara di dunia harus mengikuti pendapat ini, tanpa terkecuali.
Imam Al Syafi’i menyalahi pendapat mayoritas (jumhur) tersebut dengan menyatakan matla’ harus parsial. Berdasarkan hadis yang menyatakan tanggal 1 (awal) bulan Qamariyah harus didasarkan pada penglihatan langsung bulan sabit (hilal) dengan metode “imkan al ru’yah”. Jika hilal belum kelihatan (meskipun tertutup oleh awan) tetap belum bisa ditetapkan tanggal 1 tersebut. Jadi, matla’ harus ada.
Begitu pula, di dalam mengungkapkan teori “Dafn Al Wujud” ini, KHA Musta’in Syafiie berpendapat: menyembunyikan eksistensi diri tidak harus meninggalkan cara hidup normal dengan ekstrim (menyamar) menjadi pengemis, pertapa di goa-goa atau di gunung-gunung, menghindar dari keramaian, dan seterusnya. Dafn Al Wujud sebagaimana Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari juga dapat dalam kapasitasnya yang masyhur. Dikenal luas oleh masyarakat dunia. Dengan cara apa? Dengan cara keilmuan.
Dengan demikian, untuk mendapatkan status wali mastur sekaligus wali masyhur sebagaimana Hadratussyekh, sebaiknya memang harus alim dulu. Tidak dengan capaian-capaian dalam tirakat yang kuat seperti puasa ngebleng, bertapa bertahun-tahun, dan lain sebagainya. Tapi, dengan cara muthalaah, belajar. Mewiridkan kitab. Kalau di Pesantren Tebuireng ada tradisi mewiridkan khataman kitab Sahih Al Bukhari dan Muslim setiap bulan puasa sepanjang tahun. Sehingga Dafn Al Wujud dapat dilalui dengan kesabaran-kesabaran dalam menempuh keistiqamahan.
Dikisahkan, kesuksesan Nabi Ismail as menjadi wali mastur sekaligus masyhur karena ia berkata ketika hendak disembelih oleh ayahnya, Nabi Ibrahim as, ستجد نى إن شاء الله من الصابرين, moga-moga aku menjadi salah satu dari orang-orang yang sabar. Tetap dalam kesabaran ketika menghadapi realitas meskipun dalam posisi yang paling rendah, mendapat cobaan atau fitnahan.
Wallahul Musta’an.