Setiap muslim sudah mafhum dasar beragamanya, yaitu dua pusaka berupa Al Qur’an dan Sunnah Nabinya. Hanya saja, ketika harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata, terbentang banyak pilihan interpretasi para ulama, yang tentu saja nampak berbeda produk pemikirannya. Di bidang akidah sebagai pondasi dalam beragama, ditemukan aliran pemikiran Kalam, baik tekstualis maupun mengandalkan logika. Walau di Indonesia lebih condong kepada paham Aswaja, ada pilihan dalam bidang hukum (Syariah) yang bermazhab empat dan bebas merdeka, sehingga banyak keanekaragaman dalam pelaksanaan ibadah sesuai mazhab yang dianutnya, sampai ada golongan yang menyinggung umat kayaknya sudah jauh dari sunnah Nabinya.
Dalam hal Ihsan, dikenal adanya pendidikan sufi untuk menata akhlak manusia, dikenal berbagai tarekat yang memiliki riyadlah berbeda beda. Itulah beberapa formula dalam beragama yang masih ada.
Di tengah jaman yang terkesan serba terbuka, seakan perlu mencari format pemahaman agama yang sesuai selera jamannya, agar lebih membawa kebahagian hidup manusia.
Pemahaman agama tidak mudah mengkafirkan sesamanya yang dapat membesarkan dan hanya membenarkan Tuhannya, tanpa harus merasa benar dan sahih sendiri. Pemahaman agama yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia, maka perlu dikembangkan beragam metode beragama agar hidup lebih bermakna. Pemahaman yang tidak ekstrem kanan maupun kiri. Inilah perlunya moderasi pemahaman beragama, mengarahkan manusia agar tidak menuhankan pemikirannya, tetapi selalu memperbaharui iman dan Islamnya agar selalu sesuai jaman.
Sebagaimana telah dilakukan oleh para pembaharu Indonesia, seperti Cak Nur dengan Paramadina yang mewariskan pemikirannya. Ada Gus Dur dengan gerakan pribumisasi Islamnya. Ada Kang Jalal dengan kekuatan retorika dan karya karya cerdasnya. Ada Cak Nun yang istiqamah membersamai umat dengan jamaah maiyahnya. Pun, muncul seorang Gus Ulil Abshar Abdalla dengan Al Ghazali Collegnya.
Kita bisa belajar menggali makna beragama dari mereka yang telah melaluinya agar tetap dalam rel agama yang diridlai Tuhan Yang Maha Kuasa. Selalu membuka hati dan pikiran untuk menerima pendapat yang berbeda beda. Kita pilih beragam pendapat yang sesuai dengan kebutuhan, tanpa harus menyalahkan pilihan tetangga. Yang terpenting, semua itu untuk menjalani hidup lebih bermakna dan tentu saja untuk menggapai Ridla Sang Penguasa Alam Semesta dengan selalu mengikuti jejak para ulama yang menjadi pewaris Nabinya. Beragama sesuai pilihan jiwa. Semoga kita bahagia dan selamat sentosa.