Jombang-Net26.id Kurang lebih 72 tahun yang lalu, Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah (Ponpes Shiddiqiyyah) berdiri. Pondok pesantren ini awalnya dirintis oleh KH Ahmad Syuhada, salah satu prajurit Dipanegara, dari Losari, Brebes Jawa Tengah. KH Ahmad Syuhada berasal dari keluarga Pesantren Kedungturi yang dibangun sekitar 1850-an.
Setelah Pangeran Dipanegara diasingkan ke Manado kemudian ke Makassar oleh Belanda, Kiai Ahmad Syuhada berpindah ke Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Di situlah, dia mendirikan pesantren dan Desa Losari, nama yang serupa dari desa asalnya di Brebes. Di kemudian hari, pesantren yang didirikan oleh KH Ahmad Syuhada diteruskan oleh putranya, Muchammad Cholil yang dikenal dengan nama panggung Haji Abdul Mu’thi. Menurut sumber keluarga Bung Karno di Kediri, di bawah asuhan Kiai Muchammad Cholil inilah, Bung Karno pernah mesantren.
Haji Abdul Mu’thi memiliki 17 putera. Pesantren sempat diteruskan oleh putera keenam Abdul Mu’thi, Munasir, kemudian diteruskan oleh putera ke-12, Kiai Muchtar Mu’thi,
Kiai Muchtar Mu’thi sebelum memangku pesantren ayahnya, ia adalah seorang santri kelana. Berpindah dari pesantren ke pesantren, mulai dari Pesantren Rejoso, Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, hingga ke Banten.
Setelah Kiai Muchtar belajar dari gurunya Syekh Syu’eb Jamali Al Bantani pada 1958, ia kemudian mendapat amanat untuk mengajarkan ilmu-ilmu dari gurun kepada masyarakat luas. Kiai Muchtar Mu’thi mulai mengajarkan Thariqah Shiddiqiyah yang ia terima dari Syekh Syu’eb Jamali Al Bantani yang mengamalkan thariqah Khalwatiyah dari Yaman. Perubahan nama dari Khalwatiyah menjadi Shiddiqiyyah adalah atas perintah gurunya untuk dinisbatkan kepada Sayidina Abu Bakar Al Shiddiq. Salah satu sahabat Rasulullah saw yang mendapat gelar “Al Shiddiq”. Hal ini memang seperti tidak umum, karena kebanyakan thariqah menisbatkan diri kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib.
Untuk pertama kali, Kiai Muchtar mengajar di Masjid Baitush Shiddiqiin yang ada di bagian depan lingkungan pesantren. Karena semakin banyak orang yang ingin menimba ilmu di tempat tersebut, sampai ada yang menginap di masjid maupun mengontrak rumah di sekitar masjid. Hingga akhirnya pada 1968, Kiai Muchtar membangun tempat menginap untuk santri putera dengan luasan 5X3 meter yang berbahan baku dari bambu, genting tanah liat, dan alas lantai memakai kayu Jambe berupa rumah panggung setinggi 60 cm dan panjang lebih 32 meter; dan lebar 6 meter terbagi menjadi delapan kamar.
Selain itu juga dibangun satu kamar secara terpisah. Masing-masing kamar diberi nama menggunakan nama Wali Sanggha. Sejak itu, lingkungan Ponpes Shiddiqiyyah mengalami perkembangan cukup signifikan. Pembangunan gedung untuk mengakomodir santri dari luar daerah pun gencar dilakukan.
Karena pesatnya kemajuan pesantren ini, Kiai Muchtar pun membangun tempat khusus untuk khalwat (gubah atau pasulukan) guna mengajarkan amalan khusus thariqah Shiddiqiyyah pada 1972 atau yang disebut Jam’iyatul Mudzakkirin.
Hingga akhirnya, Ponpes Shiddiqiyyah ini semakin berkembang dan banyak bangunan di kawasan tersebut. Bahkan, luasan pesantren tersebut mencapai 5 hektare.
Sejak itu, lingkungan Ponpes Shiddiqiyyah mengalami perkembangan cukup signifikan. Pembangunan gedung untuk mengakomodir santri dari luar daerah pun gencar dilakukan.
Kiai Muchtar Mu’thi kemudian mendirikan Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah. Pesantren ini membangun gedung bertingkat pada 1974 dan menampung banyak santri dan santriwati.
Tepat pada 27 Februari 1974. Ponpes Shiddiqiyyah berdiri, beralamat di Jalan Raya Ploso Babat, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang.
Nama lengkap dari Ponpes Shiddiqiyyah adalah Pondok Pesantren Majma Al-Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman. Sedangkan Shiddiqiyyah merupakan nama thariqah yang diajarkan di pondok pesantren tersebut.
Dan, masyarakat memang lebih mengenal sebutan Pesantren Shiddiqiyyah.
Ponpes Shiddiqiyyah menekankan dua aspek yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan agama dan pendidikan kebangsaan.
Santri yang menimba ilmu di Ponpes Shiddiqiyyah tidak hanya menempuh pendidikan formal di madrasah yang dikelola Lembaga Tarbiyah Hifdzul Gulam wal Banaat (THGB), namun para santri juga tercatat sebagai murid pengamal thariqah Shiddiqiyyah.