Menuntut ilmu adalah taqwa, menyampaikan ilmu adalah ibadah, mengulang-ulang ilmu adalah zikir, mencari ilmu adalah jihad.
Imam Al Ghazali (wafat 1111), Filsuf Muslim.
Tidak seperti pada umumnya yang sedang gencar dikampanyekan, dipublikasikan, dan diiklankan, menghapal Al Quran bukan syarat dan prasyarat tertentu dalam jenjang pendidikan atau karir apapun. Pekerjaan-pekerjaan kalangan sekularisme sering melabelkan menghapal Al Quran atau sering disebut sebagai tahfidh Al Quran adalah program-program khusus selayaknya keterampilan yang lain seperti program peningkatan IT, program literasi, program matematika, program mesin, program bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Program-program pokok bagi kalangan “scholastika”. Orang-orang sekolahan.
Namun bagi KH Mabrur Syaibani, Ketua Umum Ikatan Alumni Madrasatul Quran (IAMQ), sebagaimana telah menjadi program pokok pada Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng, menghapal Al Quran merupakan thariqah bagi hamil (nggemboli) Al Quran. Manakala menghapal Al Quran sebagai upaya wiridan. Ngewiridkan Al Quran setiap hari, bahkan sepanjang hayat. Maka, tidak heran, jika kemudian muncul slogan doa “Allahumma ma’al Quran” di MQ Tebuireng. Hal yang menandai harapan semoga selalu membersamai Al Quran hingga akhir hayat.
Bagi KH Mabrur Syaibani, menghapal Al Quran berbeda dengan program-program sekolah manakala selesai dan mendapat ijazah boleh tidak ada keterikatan lagi. Misal, ketika selesai pada jenjang sekolah teknik mesin sepeda motor kemudian setelah lulus malah menjadi pedagang sukses atau tiba-tiba menjadi wartawan di luar program mesin yang ditekuninya, maka hal demikian boleh-boleh saja terjadi. Tidak menjadi persoalan.
Berbeda dengan orang yang hamil (nggemboli) Al Quran, Al Quran harus dijadikan wiridan secara rutin hingga akhir hayat. Pada pangkal pemahaman hamil ini, maka peran-peran sebagai penjaga (hafidh) Al Quran kurang begitu dikenal di MQ Tebuireng. Karena, istilah “hafidh” lebih sering digunakan oleh parapenghapal hadis-hadis Rasulullah saw. Di sini, perbedaannya.
Tentu, menjadikan hapal Al Quran sebagai wiridan itu tidak segampang yang dipromosikan. Sebab, kekuatan memori manusia di dalam menghapal Al Quran itu bermacam-macam. Maka, apabila kegiatan menghapal tersebut tidak diwadhifahkan, tidak diwiridkan, maka ingatan dalam memori itu akan melemah. Di samping, konsisten sebagai hamilul Quran akan dipertanyakan.
Di MQ Tebuireng, tahap menghapal memang menjadi wahana wiridan meskipun terjadi proses selektif dalam pembacaan (qiraah) dengan standar “Qiraah Muwahadah ‘. Bacaan “fushah”, baku, yang berlaku standar di MQ Tebuireng. Begitu pula, pada jenjang Qiraah Sab’ah, hal itu menjadi persoalan pada taraf yang lebih luas dari segi pengetahuan Ulum Al Quran. Sehingga tidak menjadi wiridan resmi. Qiraah Sab’ah menjadi program khusus bagi kalangan santri yang sudah lolos seleksi. Tapi, yang utama adalah mewiridkan secara rutin dan istiqamah sesuai dengan bacaan umum yang menjadi standar, riwayat dari Imam Hafs ‘an ‘Ashim.
Jadi, susah payahnya menjadi Ahlul Quran itu manakala bisa istiqamah dan menata kesabaran dalam menjalankannya. Bukan dalam tahap menyelesaikan programnya. Karena, program bisa bersifat temporal.
Sebagai sebuah thariqah, mewiridkan Al Quran itu tidak gampang seperti diiklankan, karena butuh kesabaran, keikhlasan, keistiqamahan.