“Ghairu Mu’tabarah” bukan berarti sesat sebagaimana umum dipahami masyarakat awam di Indonesia. Seperti ajaran Syekh Siti Jenar yang menyalahi pemahaman umum. Tidak bisa dikatakan sesat.
Ghairu Mu’tabarah dapat dipahami karena menyalahi keumuman, tidak populer, nyeleneh, syadz, dan juga mastur. Fenomena semacam ini tidak aneh dalam khazanah sejarah muslim.
Sebenarnya, bukan saja dari kalangan thariqah muncul hal-hal aneh dan nyeleneh. Dari kalangan hadis ada istilah “mahfudz” dan “syadz” untuk mengkategorikan hadis-hadis yang mutawatir dan selainnya. Dikatakan mutawatir karena ada banyak saksi dan kualifikasi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Sementara yang selain mutawatir, ada beberapa macam tingkatan, mulai dari hadis sahih hasan (karena disaksikan oleh satu orang), ada yang marfu, maudlu, dan maupun dlaif. Semua hadis selain yang mutawatir termasuk pada kategori syadz yang berbeda kualifikasinya. Hadis sahih hasan misalnya bagi Imam Al Syafi’i masih bisa digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan sebuah hukum.
Demikian pula dalam periwayatan dan pembukuan kitab suci Al Quran, Sayidina Ibnu Mas’ud dan Sayidina Ibnu Abbas bisa dikatakan syadz pendapat-pendapat mereka, karena keduanya meskipun tergolong sahabat Ahli Tafsir Al Quran tapi tidak termasuk mayoritas sahabat atau panitia yang sengaja dibentuk oleh Khalifah Abu Bakar Al Shiddiq dan Khalifah Utsman bin Affan ketika membukukan Al Quran. Tapi, bukan berarti Sayidina Ibnu Mas’ud dan Sayidina Ibnu Abbas termasuk golongan sesat. Pendapat keduanya diakui oleh mayoritas ulama, hanya tidak populer. Kecuali, untuk memberikan kekayaan khazanah pemahaman ayat-ayat Al Quran.
Di dalam thariqah juga demikian, ada yang umum masuk ke dalam kategori mu’tabarah dan yang tidak umum masuk ke dalam kategori ghairu mu’tabarah. Namun, bukan berarti mereka adalah sesat sebagaimana Nabi Khidir as. Boleh saja orang berpendapat Nabi Khidir as tidak memiliki umur yang panjang, karena dia hanya hidup di zaman Nabi Musa as. Tapi, mayoritas umat Islam percaya Nabi Khidir as memiliki umur panjang.
Begitu pula, di bidang hukum Islam (fiqh atau syariah), terdapat pendapat mayoritas (jumhur) dan pendapat minoritas atau justru pendapat pribadi. Sehingga sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqh dengan kata “قيل” yang berarti pendapat “sebagian kecil ulama”. Apakah pendapat minoritas ini juga sesat? Tentu, tidak. Tidak gampang untuk dikatakan sesat. Bahkan, bisa menjadi penyelesai suatu perkara, pemberi solusi melalui logika “problem solving” atau falsafiabilitas.
Di dalam aspek bahasa, terutama ilmu shorof dalam tata bahasa Arab, dikenal pula istilah qiyasi dan sima’i. Di dalam ilmu Nahwu, ada kata-kata yang bisa ditashrif (diderivasi), ada pula yang tidak, isim fi’il misalnya. فعل بفعل فعلا adalah kata reguler yang bisa ditashrif, diderivasi. Sementara kata irreguler هيهات ، اف، أمين adalah termasuk isim fi’il yang tak bisa ditashrif, diderivasi.
Dengan demikian, syadz, nyeleneh, tidak umum, minoritas berarti bersendirian dari yang banyak. Tapi, bukan berarti salah atau sesat. Dalam hal perawi hadis, seseorang bisa diterima riwayat hadisnya karena kuat hapalannya dan tidak fasik. Tapi, kalau fasik apalagi suka maksiat, maka periwayat hadis tersebut bisa masuk kategori tertolak, mardud! Orang berthariqah itu coba mendekatkan diri kepada Allah Taala yang Maha Suci, maka sudah selayaknya dia meninggalkan perkara-perkara maksiat. Atau, juga harus hati-hati, karena Iblis pun adalah makhluk yang sangat dekat kepada Allah Taala, tapi dia bisa menjadi kafir karena pembangkangan dan kesombongan.
Dengan kata lain, ikuti saja jalan yang sudah umum (makmum saja) bila belum mampu memasuki kelas-kelas khusus (imam). Itu jauh lebih selamat.
Wallahul Musta’an.