Konflik sering terjadi di dalam sebuah pesantren disebabkan dua hal, eksternal dan internal. Eksternal karena ada pihak luar yang turut campur di dalam persoalan-persoalan internal pesantren, biasanya perbedaan faham ideologis dan pilihan politik. Internal karena perselisihan hak-hak pewarisan.
Perkara yang Tak Perlu Terjadi
Sebuah pesantren memiliki kultur dan kontur yang alamiah. Beberapa pesantren yang tidak terikat secara kelembagaan karena figur utama pendiri (muassis) wafat akan membentuk pesantren-pesantren kecil sebagaimana terjadi di desa Kajen, Pati. Di satu desa memiliki hampir seratus buah pesantren. Begitu pula, di desa Babakan (Ciwaringin, Cirebon), desa Mlangi (Yogyakarta), atau di Tambakberas (Jombang). Meskipun pesantren-pesantren kecil tersebut masing-masing berdiri sendiri, namun masih terikat dalam sebuah organisasi keluarga atau paraalumni pesantren.
Namun, sebuah pesantren dengan sistem kelembagaan besar apalagi ditunjang oleh struktur yayasan yang kuat biasanya mengalami proses kaderisasi yang sudah berjalan relatif baik. Tentu, tetap dalam pengawasan musyawarah organisasi keluarga. Sehingga prosesi dan suksesi dapat diselesaikan melalui musyawarah keluarga. Pesantren-pesantren besar ini dapat dilihat pada Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak, Pesantren Cipasung, atau Pesantren Kempek.

Di samping itu, kematangan dalam berorganisasi telah mempersempit ruang konflik di dalam struktur pesantren. Artinya, konflik internal bisa dialihkan pada konflik eksternal. Resistensi konflik yang membesar, ibarat api di dalam sekam, bisa terjadi karena kekurangmatangan dalam pengalaman-pengalaman organisasi. Karena, sewaktu-waktu pesantren bisa menjadi pusat ajang konflik yang melibatkan pihak-pihak luar yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan turut campur.
Penyelesaian Budaya
Pernikahan adalah jembatan yang dapat meredam terjadinya resistensi konflik. Di samping, dapat merekatkan hubungan silaturahim antarpesantren. Tradisi ini sudah sering berlangsung di antara putera-puteri pesantren-pesantren di pulau Jawa. Hanya belum banyak terjadi di pesantren-pesantren luar Jawa. Mungkin, karena jumlahnya belum begitu banyak.
Upaya menutup diri bagi sebuah pesantren memang tidak baik dari segi manajemen. Apalagi ketertutupan itu disebabkan oleh ajaran rahasia semacam thariqah. Ajaran thariqah yang semestinya diajarkan secara rahasia, tidak vulgar, dan individual bisa menjadi sebab resistensi konflik tidak dapat diredam dan dicegah.
Upaya menutup diri ini juga bisa membuka peluang sebuah pesantren bisa terpapar oleh paham-paham Transnasionalisme. Pesantren bisa saja menutup diri untuk lingkungannya tapi membuka jejaring internasional. Dari segi finansial, pesantren model ini bisa cepat maju karena dapat dukungan dana besar dari luar negeri. Syarat dan prasyarat yang diberikan oleh kalangan donatur menutup kemungkinan terjadinya konflik internal, tapi sering bertentangan dengan dengan ideologi negara.
Penyelesaian melalui budaya serta dukungan organisasi yang kuat sebetulnya dapat menyelesaikan problematika pesantren, terutama dari segi penguatan ekonomi.
Mediasi budaya yang biasa dilakukan oleh sebuah pesantren di dalam meningkatkan emosional keluarga dan paraalumni adalah melalui haul. Acara peringatan kematian pendiri (muassis) pesantren. Hal ini dapat berjalan efektif di dalam meredam resistensi konflik eksternal dan internal pesantren. Itupun bagi yang percaya kalau tawasul itu perlu.