Efek dari kemunculan lembaga dan yayasan bak jamur di musim hujan sedikit banyak telah memengaruhi keberadaan pesantren-pesantren di Indonesia. Terutama, dari segi profesionalisme dan akuntabilitas. Pendidikan pesantren yang semula menekankan aspek-aspek sosial seperti rela berkorban, keikhlasan, gotong royong, dan spirit perlahan-lahan dan berangsur-angsur mulai pudar. Pesantren dianggap sebagai lembaga paling feodal yang masih tersisa saat ini. Setidaknya, dari beberapa kasus yang terjadi dapat menjadi penilaian tersendiri, terutama dalam pemisahan hak pribadi dan hak publik.

Undang Undang Baru
Pandangan sekularisme yang melanda Eropa menyebabkan munculnya kaum ateis. Pada awalnya, sekularisme merupakan gerakan antigereja yang dominan. Pada masa berikutnya, sekularisme melanda pada dunia pengetahuan. Bahwa sumber ilmu dan pengetahuan berasal dari manusia itu sendiri, bukan berasal dari Tuhan. Syukurnya, sekularisme tidak pernah hadir di dunia muslim, kecuali yang pernah mengikuti program-program sekolah.
Kiai adalah sebutan entitas tunggal yang lahir di pulau Jawa dan Sumatera Selatan. Mereka adalah orang biasa yang pernah menimba ilmu pengetahuan, terutama agama. Di lain daerah, sebutan kiai bermacam-macam seperti Tengku di Aceh, Ungku di Sumatera Barat, Ajengan di Jawa Barat, dan Tuanguru di Nusa Tenggara Barat.

Mereka bisa terlahir dari kalangan bangsawan yang menepikan diri kemudian mendirikan perguruan, bisa pula orang biasa yang mendalami pengetahuan agama kemudian menjadi guru atau ustadz. Mereka hidup seperti manusia kebanyakan dengan bertani, berdagang, atau mendirikan pabrik tahu, tempe, kain, batik, dan aneka ragam industri kecil lainnya. Dari hasil-hasil usaha tersebut, seorang kiai kemudian bersama-sama parasantrinya kemudian mendirikan pesantren. Dan, anehnya, usaha mandiri ini sering dimusuhi oleh pesaing-pesaing yang datang dari luar, baik pengusaha yang hendak menguasai lahan pertanian dan perkebunan seperti pada masa Belanda yang membutuhkan tenaga kerja murah, maupun merebut pangsa pasar industri yang dikuasai oleh kalangan pesantren.

Kepentingan Pemerintah Hindia Belanda (PHB) untuk menguasai kepulauan Nusantara diantaranya adalah melalui Politik Etis. Tiga program Politik Etis yang terkenal adalah melalui edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk).
Nilai-nilai Sosial dan Spiritual
Padaawalnya, Politik Etis merupakan niatan baik Ratu Belanda untuk membalas budi kepada kaum pribumi yang telah banyak berjasa, menyumbang bagi kekayaan Belanda. Namun, program tersebut justru diselewengkan oleh PHB yang berkuasa di Batavia untuk memenuhi kuota tenaga administrasi yang murah, pengairan untuk perkebunan milik perusahaan Belanda, dan pembukaan lahan baru bagi perkebunan Belanda.
PHB kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan pribumi untuk dididik menjadi tenaga-tenaga administrasi yang terampil. Mereka digaji oleh PHB.
Sejak sekolah-sekolah didirikan oleh Belanda, propaganda sekularisme ilmu mulai berjalan masif, terstruktur, dan terencana. Bagi pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh kalangan pribumi diberlakukan Undang Undang Ordonansi sebagaimana sertifikasi. Semua pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah milik Muhammadiyah harus tunduk pada Undang Undang Ordonansi tersebut.

Tidak sedikit kiai dan pesantren yang koperatif dengan kebijakan Undang Undang Ordonansi tersebut, tapi tidak sedikit pula yang menolak ketika kebijakan-kebijakan PHB banyak yang merugikan rakyat seperti pada monopoli perdagangan dan oligarki yang didukung oleh kalangan-kalangan konglomerasi. Kemunculan Muhammadiyah, Serikat Dagang Islam (SDI), atau Nahdlatut Tujjar pada awalnya adalah organisasi kongsi dagang yang didirikan oleh kaum santri. Jika Muhammadiyah dan SDI berangkat dari kalangan industri batik, maka Nahdlatut Tujjar yang kemudian menjadi NU bergarak pada kalangan petani. Sekularisme yang kemudian memasuki relung-relung organisasi tersebut kemudian merubah pola pandang untuk saling berhadapan. Ide-ide sekularisme yang coba memisahkan hak-hak pribadi dan hak-hak publik menjadi rentan konflik.
Nilai-nilai sosial yang menjadi ikatan kuat antara kiai, santri, dan masyarakat menjadi sasaran baru setelah profesionalisme dan akuntabilitas sebuah pesantren.
Padahal, penokohan seorang kiai tidak melalui proses setting dan editing. Dia bisa tampil apa adanya, bahkan tidak sering terlihat canggung. Tapi, keikhlasan parakiai di dalam membangun dan membesarkan pesantren milik mereka selalu menjadi bahan olok-olok. Belakangan, isu-isu seksualitas menjadi lahan empuk untuk mendiskreditkan kiai dan pesantrennya. Pandangan materialisme ini menjadi salah satu ujung tombak untuk menusuk jantung pesantren. Padahal, kehidupan demikian adalah problem manusiawi yang bisa terjadi di mana saja.