Dunia maya yang marak satu dekade belakangan ini telah menyajikan satu parodi panjang lakon-lakon dari Timur Tengah Setengah. Maksudnya, aksesoris dan aksentuasi setengah Timur Tengah, setengah lokal. Jika tidak ditanggapi dengan serius dan akibat perpecahan umat, dagelan mereka di kanal-kanal YouTube dan media-media lainnya memang layak untuk mendapat nominasi. Sekali lagi sayang, tontonan menarik tersebut terlalu serius sehingga hampir tidak meninggalkan ruang-ruang sisa untuk tertawa. Mereka tidak seperti Abu Nawas dan Sultan Harun Al Rasyid yang terkenal.
Indonesia Tanpa Punakawan
Parapunakawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong) adalah upaya sufistivikasi ulama-ulama zaman dahulu terhadap budaya Jawa. Mereka ditengara lakon-lakon khas ciptaan Kanjeng Sunan Kalijaga. Ajaran-ajaran suci mereka (baca: sufisme) berkaitan erat dengan sufisme kaum muslimin pada umumnya yang dikemas dalam media susastra pewayangan secara lokal.
Hal ini dapat diperbandingkan dengan susastra masa pra-Islam yang terpahat di lankan-langkan Candi Prambanan atau naskah-naskah lainnya seperti Arjuna Wiwaha yang tidak menampilkan sosok parapunakawan tersebut. Begitu pula, karakter yang muncul dari sosok-sosok parapunakawan tersebut yang memiliki nilai sufisme tersendiri.
Pada era Orde Baru, menurut Eros Djarot, mereka berhasil menampilkan sosok-sosok Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) sebagai Semar, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) sebagai sosok Petruk, dan Eros sendiri sebagai Gareng. Untuk lakon Bagong Eros lupa. Mereka coba membangun narasi sendiri di luar narasi mainstream yang dibangun oleh Soeharto, yang sedang berkuasa di istana. Bahkan, narasi ini sepertinya telah dikemas apik olah Mohammad Sobari.
Dan, terlepas dari sufi atau tidak, yang jelas lakon-lakon mereka berhasil dalam membangun narasi tandingan, baik dari tulisan-tulisan dan pagelaran maupun politik secara praktis.
Lambannya Digitalisasi
Ada banyak khazanah kesenian yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia secara lokal. Mulai dari wayang kulit, wayang golek, tari, ketoprak, ludruk, dan sebagainya. Masing-masing media kesenian tersebut tidak jarang menampilkan cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata dengan kemasan-kemasan kontemporer. Dikatakan kontemporer karena selalu menghadirkan unsur-unsur luar ke dalam narasi pokok (pakem). Ludruk adalah susastra drama yang paling terbuka dalam menghadirkan lakon-lakon di luar mainstream sebagaimana ketoprak. Ludruk dengan Besut dan Rusmini merupakan lakonan di luar mainstream yang berkembang di Jawa Timur. Meskipun, di luar konteks mainstream ketoprak, namun sosok Besut dan Rusmini merupakan lakonan yang dapat menghadirkan karakter terbuka dengan menggantikan posisi lakon-lakon punakawan. Keterbukaan ludruk dapat dibuktikan dengan konteks Kejawaan dengan unsur-unsur luar seperti ketoprak, tonil Belanda, bahkan Stambul Turki. Ludruk bahkan hadir dalam bentuk bahasa yang arbitrer. Narasi-narasi ludruk pun bisa tanpa konsep dan konteks dengan kehadirannya secara spontan.
Lambannya transpormasi digitalisasi budaya sedikit mengubur tentang masa lalu, meskipun dekat. Tidak ada lakonan pakem serta punakawan yang konsisten, budaya berjalan seperti ludruk yang penuh warna. Kehadiran Wahabi-Salafi tidak perlu dipandang serius sebagai ancaman budaya, karena memang hakikatnya untuk membodohi umat serta mengisi kekosongan lakon di dunia nyata yang sedang sepi karakter. Mereka hanya pertil kecil yang tidak penting dari sekuel-sekuel ludruk yang arbitrer. Selamat menikmati!