Kadang, menjadi bahan penelitian, kapankah prostitusi dan perbudakan di dunia dimulai?
Sebagai agama yang mengajarkan tentang elan moral, Islam tidak berbicara secara tuntas tentang prostitusi. Meskipun, Al Quran menyebutkan kata-fakta “البغاء” sebagai kata pembuka untuk mengeksplorasikan lebih jauh secara historis.
Bahan Komoditas
Prostitusi merupakan aktivitas bisnis yang dipercaya oleh parasejarawan berusia paling tua, seumuran sejarah manusia. Menyusul aktivitas perbudakan yang setiap zaman bersalin rupa.
Pada masa sejarah kuno, dapat disaksikan di dalam film-film berlatar belakang gladiator misalnya, ketika manusia menjadi komoditas untuk diperjualbelikan di pasar-pasar bebas. Jadi, komoditas perdagangan pada kuno tidak saja berupa bahan-bahan kebutuhan pokok, melainkan juga perbudakan.
Komoditas manusia tersebut diperoleh melalui jalan menangkap di tempat-tempat liar, di samping suku-suku-bangsa yang kalah perang. Pihak yang kalah perang, karena tidak mampu membayar hutang perang, mereka dikenai sanksi dengan jalan menjadi budak.
Tentu, hal ini menjadi salah satu latar belakang sejarah yang menjadikan suatu suku-bangsa buas untuk memerangi pihak lain. Di samping, untuk menguasai wilayah-wilayah strategis ekonomi lainnya. Sejarawan berbicara faktor-faktor ekonomi lebih berperan menjadi sebab-sebab peperangan.
Pada masa-masa agama mulai menjadi bagian dari sejarah, kelahiran agama Yahudi dan Kristen tidak memberikan solusi dalam mengurangi perbudakan. Pembebasan suku-bangsa anak-anak keturunan Nabi Ya’kub (Israel) dari perbudakan oleh Nabi Musa juga tidak memberikan implikasi yang lebih baik. Bahkan, kian menjadi. Hal ini tampak pada sejarah Kaisar Herodes ketika akan lahir Yesus Kristus. Suku-bangsa Koptik (Qibtiyah) di Mesir menjadi sasaran sejak pertama tahun Masehi hingga masa Islam datang. Suku-bangsa Koptik terus mengalami penindasan-penindasan selama berabad-abad.
Nabi Muhammad saw dimasukkan sebagai 100 tokoh paling berpengaruh di dunia oleh Michael H Heart karena memiliki agenda pembebasan perbudakan ini. Sejak masa Islam, praktik-praktik perbudakan di dunia pun secara perlahan mulai dapat dihapus. Dan, dunia memasuki masa peradaban.
Perdagangan Manusia di Indonesia
Prostitusi menjadi bagian penting perjalanan sejarah kolonialisme. Karena, hingga abad ke-18, Thomas Stamford Raffles masih mempraktikkan jual beli manusia (perbudakan) dan VOC (baik di belahan Dunia Timur maupun belahan Dunia Barat) meraih keuntungan besar di Asia, Afrika, hingga Amerika. Maka, tidak heran, jika kemudian populasi suku-bangsa Afrika cukup besar di Benua Amerika.
Kolonialisme tersebut bukan saja membuka kota-kota pusat perdagangan emas dan rempah-rempah, melainkan juga perdagangan manusia. Di kota-kota perdagangan yang dibentuk oleh Perusahaan Kamar Dagang Eropa tersebut prostitusi dan perbudakan berjalan masif.
Lalu, apakah prostitusi tidak memiliki akar sejarahnya di Nusantara? Tentu, ada, karena hal itu merupakan hasrat alami. Namun, peningkatan prostitusi sebagai komoditas berlangsung masif sejak perdagangan dan pendirian kota-kota dagang oleh kolonialisme. Pada suku-suku-bangsa yang berada di pedalaman, adat istiadat dipegang dengan sangat erat oleh masyarakat sehingga ada aturan dan sanksi tersendiri bagi pelaku-pelaku prostitusi.
Selain perdagangan manusia dan prostitusi berlangsung ramai di kota-kota pelabuhan, pinggir laut, pendirian kota-kota modern pun berdampak pada maraknya prostitusi ini. Batavia pada pendiriannya di masa JP Coen banyak menyimpan cerita-cerita ini. Bukan saja dibuat perkampungan perbudakan dari berbagai suku-bangsa di dunia, Batavia juga mulai melegalkan prostitusi.
Pembuatan rel kereta api juga telah menciptakan satu komunitas baru prostitusi, di samping tempat-tempat yang sudah dilegalkan seperti Bandungan di Semarang dan Dolly di Surabaya. Di sepanjang stasiun-stasiun kereta api, komunitas prostitusi tidak bisa dilepaskan begitu saja, seperti di Senen Jakarta, Pasarkembang Yogyakarta, atau di Turi Surabaya.