Islam adalah agama konstitusional. Agama yang merujuk kepada dua warisan utama Baginda Rasulullah SAW, berupa Al Quran dan hadis. Sehingga semua amaliah atau aktivitas umat Islam mesti merujuk kepada keduanya. Meskipun pada kenyataannya, realitas hidup manusia dan alam adalah “kitab terbuka” yang perlu diterjemahkan ke dalam kenyataan teks Al Quran dan hadis. Untuk mengungkapkan kenyataan teks Al Quran dan hadis, maka diperlukan perangkat-perangkat ilmu. Jika berkaitan dengan hukum, maka diperlukan ilmu fiqh. Jika berkaitan dengan hakikat dan akidah, maka diperlukan ilmu tauhid. Sementara yang berkaitan dengan etika dan adab, maka diperlukan ilmu tasawuf.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas yang ada di dalam Al Quran mesti pula ditelusuri atau diinvestigasi dari kenyataan hidup alam dunia melalui thariqah dengan menyaring yang baik-baik dan yang positif bagi manusia. Dengan kata lain, untuk kembali kepada realitas Al Quran dan hadis tersebut, diperlukan pendekatan-pendekatan dan ilmu-ilmu tertentu beserta metode-metodenya, terutama di dalam mendalami thariqah. Dari sini, pengertian thariqah menjadi sebuah metode yang setiap ulama memiliki metode dan tatacara tertentu.
Perkembangan dan popularitas istilah thariqah mulai sejak abad ke-6 Hijriyah, tepatnya setelah Kota Baghdad jatuh diserang oleh Hulagu dari Mongol pada 1258 Masehi. Kejatuhan Kota Baghdad tersebut menurut ahli sejarah disebabkan karena bobroknya moral penguasa pada waktu itu atau dengan kata lain thariqah telah ditinggalkan dalam menata umat atau masyarakat muslim. Sehingga spirit agama tidak lagi mampu menciptakan generasi-generasi yang berkualitas.
Namun, Kuasa Allah Taala wa Subhanah di balik peristiwa keruntuhan kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad tersebut telah memberi berkah tersendiri bagi umat manusia di dunia. Sehingga kalangan thariqah yang semula bersembunyi mulai menampakkan diri dan tersebar di berbagai pelosok bumi, termasuk Nusantara. Mereka menjadi spirit berdirinya daulah-daulah berikutnya di berbagai pelosok dunia seperti Kerajaan Bani Syafawi (Thariqah Al Syafawiyah), Kerajaan Bani Fathimi (Thariqah Al Fathimiyah), Kerajaan Bani Sanusi (Thariqah Al Sanusiyah), dan lain-lain.
Secara khusus, kelahiran Syekh Abd Al Qadir Al Jilani (Ghilan) menjadi titik tolak kebangkitan spirit umat Islam Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah, meskipun sudah didorong oleh thariqah-thariqah lain pada masa sebelumnya. Namun, gerakan thariqah mereka masih bersifat pribadi dan personal sehingga tak jarang memunculkan kontroversi dan polemik ilmiah.
Usaha-usaha Syekh Abd Al Qadir Al Jilani (1077–1166) adalah mengorganisir umat Islam yang tercerai berai akibat kekacauan-kekacauan politik ke dalam majelis-majelis zikir dan ilmiah. Sama seperti gurunya, Imam Al Ghazali, Syekh Abd Al Qadir Al Jilani sendiri sebenarnya menulis banyak kitab yang tidak tersebar di kalangan umat Islam, tetapi justru malah tersimpan di perpustakaan Vatikan.
Thariqah secara praktis, sudah mulai dirintis sejak masa sahabat Rasulullah SAW, diantaranya adalah Abu Bakar Al Shidiq, (573-634 M), Ali bin Abi Thalib (599-661 M), Salman Al Farisi (w. 656), Abu Dzar Al Ghifari (652 M), dan Miqdad bin Al Aswad; dengan Ali bin Abi Thalib sebagai tokoh sentralnya.
Pada masa setelahnya, tabiin, muncul tokoh-tokoh seperti Hasan Al Basri (642-728 M) dan Sofyan Al Thawri (716-778 M). Di susul kemudian, seorang murid dari Hasan Al-Basri, Abdul Wahid bin Yazid (w. 794). Ciri khas thariqah Hasan Al-Basri ini adalah rasa takut yang berlebih kepada Allah SWT, zuhud, dan memperbanyak ibadah. Pada abad kedua Hijriah, muncul nama-nama Ibrahim bin Adham Al Balakhi (718-782 M) dan Rabiah Al Adawiyah (713-801). Ciri khas thariqah Rabiah Al Adawiyah adalah rasa mahabbah (cinta) kepada Allah SWT.
Pada abad ketiga Hijriah, thariqah kian berkembang dengan tokoh sentral Abu Sulaiman Al Darani (w. 819 M), Ahmad ibn Al Hawari (w. 844 M), Zunnun Al Mishri (796-859 M), Bisyir Al Hafi (767-841 M), Abu Bakar Al Syibli (861-946 M), Al Haris Al Muhasibi (781-857 M), Sirri Al Saqti (w. 867 M), Abu Yazid Al Busthami (804-874 M), Al Junaid Al Baghdadi (830-910 M) dan Abu Manshur Al Hallaj (858-922 M).
Thariqah dalam sejerahnya juga mendapat pengaruh dari filsafat seperti paham “Al ‘Isyraqiyah” Syekh Syihab Al Din Yahya ibn Habasy Ibn Amirak Abu Al Futuh Suhrawardi (1154-1191 M) dan dan paham “Wihdah Al Wujud” Syekh Al Akbar Ibnu Arabi (1165-1240 M).
Perjuangan melalui pena ulama-ulama thariqah sehingga melahirkan karangan-karangan banyak kitab. Namun, belum dalam bentuk gerakan terorganisir melalui jama’ah yang besar (apalagi memasang plang merk seperti saat sekarang). Mereka masih dalam bentuk gerakan yang samar dan rahasia, yang menjadi pokok perkembangan thariqah-thariqah sejenis seperti Al ‘Isyqiyah, Al Chistiyah, Al Kubrawiyah, Al Naqsyabandiyah, Al Syattariyah, dan lain-lain.
Sebagaimana disebutkan di muka kalau Islam adalah agama konstitusional, maka ulama-ulama menulis kembali konstitusi tersebut dalam berbagai bentuk karangan kitab, karena dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan agama. Imam Al Ghazali (wafat 1111 M) adalah tokoh rujukan utama bagi ulama-ulama thariqah setelah melihat gejala-gejala kemunduran kekuasaan Bani Abbasiyah di Kota Baghdad ketika umat Islam terlampau jauh bertindak dalam rasionalitas/akal melalui perdebatan filsafat dan Kalam.
Karena melihat kerancuan-karencuan argumentasi umat Islam yang bersifat personal dan belum tentu diterima oleh semua kalangan, Imam Al Ghazali pun kemudian menulis sebuah kitab yang diberi judul “Ihya Ulum Al Din”. Kitab ini menjadi pegangan (Al I’timad) setelahnya, sekaligus sebagai “kitab konstitusi” ulama-ulama thariqah setelah Al Quran dan Hadis. Tidak terkecuali Syekh Abd Qadir Al Jilani dan Syekh Abu Al Hasan Ali Al Syadzili di kemudian hari. Sehingga tidak heran jika kemudian antara Imam Al Ghazali, Syekh Abd Al Qadir Al Jilani, dan Syekh Abu Al Hasan Ali Al Syadzili (1196-1258) sangat identik di dunia thariqah masuk ke dalam satu pemikiran dan amaliah.