Untungnya, sastra tidak hanya puisi dan prosa. Sastra juga meliputi drama kehidupan, baik disengaja atau tidak.
Tapi, yang lebih penting adalah sastra bersifat serius dan tidak sekaligus. Serius karena mengandung otentikasi makna, dan tidak karena yang serius bisa menjadi tidak serius. Hanya dihitung keindahannya saja sehingga kalangan awam memandang seni adalah sastra dan sastra adalah seni.
Nabi-nabi Tanpa Kitab Suci
Seorang seniman dengan penghayatan tinggi akan menemukan satu titik puncak keruhanian. Manakala ia berpolemik dengan dirinya sendiri. Pada satu saat, ia menangkap kegelisahan-kegelisahan sehingga menjadi inspirasi, sementara di saat yang lain ia menuangkan ekspresi itu ke dalam rupa dan bentuk. Seorang seniman hanya akan menemukan ekspresi dalam tindakan-tindakannya yang ambigu.
Di satu sisi, Rasulullah SAW pernah dianggap sebagai penyair gila. Tukang igau. Karena, telah memberitakan kemustahilan-kemustahilan. Tentang dunia yang tak tampak.
Sementara penyair-penyair pada saat itu dan penyair umumnya sangat akrab dengan penampakan itu. Mereka hanya hafal lekuk-lekuk tubuh dan daging. Dari sini, kepenyairan lebih gampang diterima karena bisa disentuh dan diraba.
Dilematika agama-agama lokal dalam bingkai kepercayaan pada masa Orde Baru telah memutus garis hubungan, relasi, sejarahnya dari masa lalu. Agama, terutama Islam, hanya dipandang dari yang diturunkan, “Devine”, “Gift”, maupun “Faith”, keimanan yang diikuti dengan keyakinan. Padahal, pada konotasi tertentu, kepercayaan-kepercayaan lokal juga melibatkan keyakinan di dalam aktivitas kehidupan’.
Kelemahan mendasar dari keterputusan prakeimanan telah menyebabkan tafsir-tafsir bermunculan dari situasi sesudahnya. Mempersepsikan masa lalu dari sudut pandang kekinian dengan penegasan “sholih li kulli zaman wa makan”; otentik pada setiap zaman dan tempatnya. Maka, dengan sendirinya, penegasan tersebut telah mengubur masalalu hanya demi kepuasan masa sekarang. Tanpa bisa menempatkan pada kurungan waktu dan tempat. Rumit?
Spiritualitas Kaum Abangan
Kaum Abangan yang belakangan disebutkan di Indonesia oleh Clifford Geertz telah disamarupakan dengan kaum pagan yang juga berkembang di dunia belahan lain. Mereka menggambarkan model-model ritual keagamaan tanpa memandang latar belakang sejarahnya. Dalam kasus persembahan umpamanya, dari tiga model ibadah-ritual (melibatkan mantra, yoga, dan persembahan), pengorbanan terhadap manusia sebagai tumbal terjadi di mana-mana. Tidak terkecuali di Mekah dengan Abdullah bin Abd Al Muthalib sebagai korbannya, juga pada Ismail pada masa yang jauh sebelumnya.
Cerita-cerita legenda korban manusia yang merupa ke dalam model kanibalisme serta ritual minum darah akan memiliki keserupaan pada praktik-praktik tumbal pada umumnya. Praktik Bhirawa di Kediri misalnya. Hal serupa juga dalam ritual-ritual paling purba di tempat-tempat lain sebagaimana “Voodoo”.
Praktik-praktik spiritualitas Abangan beserta ritualitasnya tidak dijumpai seekstrim yang digambarkan. Terutama sebutan terhadap mereka sebagai anti-Tuhan. Praktik-praktik Abangan hanya dapat digambarkan dalam kepercayaan dan keyakinan yang berbeda dengan praktik-praktik keagamaan yang serba formal. Pandangan mereka pada totalitas ketiadaan seorang “hamba” di hadapan Tuhannya yang memiliki akar kemiripan dengan agama-agama formal lainnya. Bedanya, praktik penghilangan kehambaan tersebut juga meniadakan gerakan dan perbuatan, terutama pada aktivitas.
Merubah mindset kekafiran tentu tidak mudah. Karena, mereka memiliki pengalaman yang mungkin bisa saja sama dengan kita. Tapi, persepsi kita sering cepat menuduh, bahkan memusuhi. Mereka, kaum Abangan, yang sering melihat hakikat daripada yang wadat. Mungkin bisa lebih khusyuk ketika menunaikan sholat daripada kita, karena mereka telah menemukan hakikat.
Jakarta, 30 Maret 2022.