Kemunculan Syekh Siti Jenar dalam kancah sejarah dan legenda beragama umat Islam di pulau Jawa telah menjadi titik tolak pertentangan antara kalangan pelaku tasawuf dan kalangan fiqh versi MUI yang merujuk pada pertentangan tasawuf vis a vis fiqh pada era sebelum Imam Al Ghazali. Banyak tulisan dan penelitian berikutnya yang memberi kode pertentangan ini. Hal yang paling mendasar adalah pengikut Syekh Siti Jenar telah meninggalkan ibadah-ibadah formal seperti sholat dan zakat tersebab ajaran Manunggaling kawula lan Gusti. Kelompok ini dalam pengkodean yang dilakukan oleh budayawan Agus Sunyoto diidentikkan dengan “kaum Abangan” yang mendirikan beberapa filosofi kerakyatan dan komunitas-komunitas seperti Tanah Abang, Lemah Abang, dan Lemabang di berbagai tempat.
Menurut Agus Sunyoto lagi, kalangan Abangan tersebut identik dengan sebuah thariqah yang dikenal dengan sebutan Akmaliyah. Dan, pandangan ini menjadi salah satu tipologi yang telah dibangun oleh Clifford Geertz (peneliti Amerika) yang membagi masyarakat Jawa kepada Priyayi, Santri, dan Abangan.
Mampukah Orang Awam Mencapai Puncak Keindahan?
Semua itu memang hak prerogatif Allah Taala wa Subhanah. Untuk mencapai keindahan itu, berjumpa denganNya dalam tatap muka yang langsung. Tidak ada keindahan dan kenikmatan yang didapat, kecuali berjumpa denganNya dengan atas perkenanNya.
Dalam tasawuf falsafi, demikian istilah yang sering dipakai oleh peneliti spiritual muslim, dunia dan seisinya adalah emanasi -perwujudan sementara- yang diciptakan oleh Allah Taala. Tidak abadi dan akan musnah.
Mengenal tasawuf falsafi sebenarnya sangat sederhana. Tidak serumit seperti yang dibayangkan oleh kalangan-kalangan teoretikus dan sarjana tasawuf. Apalagi untuk memahaminya hanya melalui perdebatan-perdebatan dan polemik-polemik populer maupun akademik.
Tasawuf falsafi melahirkan beberapa teori pengalaman seperti fana, mahabbah, wihdatul wujud, maupun hulul yang secara esensi memiliki kesamaan walau berbeda sebutan. Teori-teori pengalaman tasawuf ini yang sering menjadi bahan perdebatan diskusi dan pengamalannya.
Orang Indonesia memiliki spiritualitas yang istimewa. Saking istimewanya hampir tidak ada benturan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya. Justeru, yang tampak gaduh di masyarakat sejak era Belanda hingga era sosial media sekarang ini adalah kalangan-kalangan internal dalam satu agama itu sendiri.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) paraulama sudah menjadi keniscayaan bagi umat muslim. Karena, ayat-ayat Al Quran memerlukan tafsir-tafsir dan persepsi-persepsi.
Namun demikian, persoalan ikhtilaf tersebut tampak lebih dominan daripada yang bersifat substansial. Semisal Manunggaling kawula lan Gusti tersebut yang dikhawatirkan akan merusak sendi-sendi beragama dalam perspektif fiqh masyarakat, terutama kalangan santri.
Padahal, Manunggaling kawula lan Gusti dalam perspektif tasawuf adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan dan bisa diterima alias tidak ada perbedaan pendapat.
Tasawuf Falsafi Bagi Kaum Awam
Kekhawatiran kaum “santri” (dengan tanda petik) tersebut terhadap pengajaran faham wihdatul wujud (diterjemahkan ke dalam tradisi Jawa Manunggaling kawula lan Gusti) terhadap kalangan awam akan menimbulkan kekacauan syari’ah. Pola-pola zikir rahasia dan individual dianggap sebagai sebuah ajaran antisosial. Anggapan ini pun muncul bagi kalangan pesantren sebagai tindakan-tindakan amaliah yang berbau klenik dan bertentangan dengan syariah.
Sehingga pesantren memutuskan untuk mengajarkan tasawuf tingkat tinggi itu setelah masyarakat awam benar-benar matang dari segi syari’at. Dan, ajaran wihdatul wujud tersebut “haram” untuk diajarkan.
Dalam literatur Jawa, kisah Syekh Siti Jenar merupakan representasi dari ajaran wihdatul wujud tersebut, meskipun sebagian berpendapat antara Manunggaling kawula lan Gusti dan wihdatul wujud berbeda konsep dan pandangan. Dan, yang utama adalah ajaran Syekh Siti Jenar menjadi dasar “agama rakyat” yang belakangan disebut sebagai kaum Abangan tersebut.
Puncaknya, buku karya Clifford Geertz kemudian dijadikan “Berhala” untuk diyakini kebenarannya hingga kini, sehingga kaum Abangan itu benar-benar ada dalam realitas sosial. Yang bagi kaum santri dianggap sebagai kaum yang tidak taat terhadap syari’at. Dan, menjadi dikotomi cukup signifikan manakala kalangan Abangan tersebut merupa dan membentuk sebuah organisasi yang cukup dominan di dalam membantu sebuah organisasi politik yang bercorak nasionalis.
Dan ironisnya, pascaperistiwa G30S, kaum Abangan tersebut lebih memilih beragama selain Islam ketika ada ketentuan wajib beragama oleh negara pada masa Orde Baru. Islam dan nasionalis seakan menjadi seteru dan berlomba untuk menguasai politik negara.
Namun yang jelas, jika mau jujur, berapa persentase umat Islam yang benar-benar telah menjalankan syari’at (meminjam istilah Orde Baru) secara “murni dan konsekuen”? Berapa persen mereka menunaikan ibadah sholat lima waktu daripada mereka yang tidak? Sementara yang tidak kemudian justeru benar-benar tidak mengenal agama sama sekali.
Dalam pandangan yang memperseterukan tasawuf dan fiqh, yang berpuncak pada penokohan legenda Syekh Siti Jenar di pulau Jawa telah menggambarkan seolah tasawuf falsafi dan fiqh bersihadao secara diametral. Tidak pernah bertemu, bahkan dalam satu pandangan keras fiqh terhadap ajaran tasawuf dianggap yang benar-benar haram. Tidak boleh diajarkan karena akan membawa ke arah kesesatan.
Padahal, dalam teknik-teknik zikir yang berkembang melalui thariqah Al Syadziliyah tidak pernah terjadi sebagaimana inti dasar zikir thariqah tersebut menekankan pada aspek istighfar, sholawat, dan tahlil. Sebagai representasi dari sikap tasawuf yang sudah disepakati, baik oleh ulama-ulama tasawuf maupun fiqh melalui metode Tajalli, Tahalli, dan Takhalli.
Dengan demikian, bagaimana tasawuf dan fiqh dapat integral ke dalam “agama rakyat” dapat dipelajari dan dipahami melalui tiga metode tersebut, Tajalli, Tahalli, dan Takhalli melalui istighfar, sholawat, dan tahlil.
Cirebon, 2 April 2022.