Musyrik merupakan persoalan serius bagi umat Islam, karena termasuk dosa besar yang tidak terampuni. Sehingga sejak dini, paraulama menciptakan ilmu khusus agar umat Islam tidak terjebak kepada dosa besar kemusyrikan tersebut.
Namun demikian, konten ilmu-ilmu awal umat Islam yang serius membahas tentang masalah tauhid (lawan kata dari kemusyrikan) sebenarnya tidak terjebak pada satu pokok pembahasan masalah “angka” sebagaimana yang terjadi dan marak belakangan ini; ketika angka melahirkan identik konsepsi dengan “satu”. Sehingga ketika ditanya, apakah yang dimaksud dengan ilmu tauhid itu? Jawabnya, pasti, ilmu yang mempelajari tentang kesatuan Allah. Ilmu yang mengesakan Allah. Titik.
Baik. Sekarang, apakah yang Anda maksud dengan satu itu, esa itu, tunggal itu, adalah persepsi yang Anda bayangkan tentang deretan angka seperti selama ini ketika Anda mulai menghitung?
Persepsi Identik
Jika iya, ada pertanyaan lagi. Apakah yang satu itu, yang esa itu, yang tunggal itu, tidak dapat dipecah atau dibagi lagi? Jawabnya, pasti, bisa. Bisa separuh, seperempat, sepertiga, seperdelapan, dan seterusnya. Berarti, tidak satu lagi, bukan? Bisa berarti lebih dari satu, meski kadarnya berkurang.
Ini pakai logika awam saja ketika persepsi setiap orang menggunakan “persepsi identik”. Setiap orang percaya awal dari deretan angka adalah satu. Tidak ada yang akan menolak, jika dikatakan awal itu, pertama itu, adalah satu, esa, dan tunggal.
Dalam kasus sila pertama dari Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Esa tersebut diidentikkan dengan tunggal, satu. Maka, tidak heran, jika kemudian muncul perdebatan; dimanakah “keesaan” yang dijunjung tinggi oleh agama selain Islam? Bukankah yang nyata-nyata menuhankan satu Tuhan hanya Islam? Maka, umat Islam pun secara terang-terangan mendeklarasikan sebagai “agama tauhid”. Agama yang bertuhan tunggal dan esa.
Tafsir Al Ahad
Hubungan antara hamba (‘abd) dan Tuhan menjadi pokok persoalan kemudian. Esensi manusia itu sebenarnya ada ataukah tidak ada? Lalu, bagaimana jika hamba itu ada? Bagaimana jika hamba itu tidak ada? Bagaimana konsekuensinya?
Ulama sepakat kalau Allah Taala itu Ada dengan sifat wujudNya. Wujud artinya Ada. Hanya mereka bersilang pendapat mengenai esensi hamba itu ada atau tidak. Jika membaca ayat-ayat Al-Quran akan ditemukan, hamba adalah entitas yang berbeda dari wujud Allah Taala. Dengan kata lain, hamba merupakan esensi yang diadakan (maujud).
Sebagaimana ayat-ayat Al-Quran menyebutkan tentang kenikmatan-kenikmatan sorga dan siksa-siksa neraka yang diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya. Clear! Untuk hubungan pertama, hamba itu ada dengan konsekuensi akan menerima kenikmatan atau siksaan kelak di akhirat.
Selanjutnya, hamba itu pada hakikatnya tidak ada. Yang ada adalah bayangan Allah. Hamba beserta alam seisinya adalah tidak ada dan akan musnah. Hanya bayangan, karena sifatnya diadakan (maujud). Yang Ada hanya Allah Taala. Dengan demikian, hubungan yang kedua ini antara hamba dan Allah Taala hanya bersifat sementara, karena hamba akan musnah. Clear!
Selanjutnya, paraulama membedakan antara kata “Al Ahad” dan “Al Wahid”. Al Ahad adalah nama dan sifat (esensi) Allah Taala yang disebut sebanyak 33 kali dalam Al Quran diantaranya:
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Ahad (satu-satunya). (Al Ikhlas ayat 1).
Sementara Al Wahid adalah bilangan angka (eksistensi) Allah itu Satu. Terdapat 25 kata Al Wahid disebutkan dalam Al Quran diantaranya:
قُلِ اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Katakanlah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia (Tuhan) Maha Esa, Maha Perkasa. (Al Ra’d ayat 16).
وَقَالَ اللَّهُ لَا تَتَّخِذُوا إِلَهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ
Dan Allah berfirman, “Janganlah kamu menyembah dua tuhan; hanyalah Dia Tuhan Yang Esa. Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut.” (Al Nahl ayat 51).
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Esa, Maha Mengalahkan. (Ghafir ayat 16).
Berbicara pada esensi dan eksistensi Allah Taala ini, maka Allah Taala tidak dapat dibagi secara esensi dan dapat dibagi sebagai eksistensinya. Kenapa begitu?
Secara esensi, Allah Taala tidak berbilang. Dia satu-satunya. Jika kemudian hamba itu tiada karena musnah (fana), maka yang Ada (satu-satunya) hanya Allah. Lalu, Allah Taala dapat berbilang dalam pengertian “ada yang selain Ada”. Ada yang lain selain Allah Taala. Di sini, untuk menghadirkan yang ada (hamba/maujud) selain yang Ada (Allah/Wujud), memerlukan perincian pada problem-problem persepsi identik.
Dengan kata lain, untuk menghapus bilangan yang ada selain dari yang Ada, maka bilangan itu harus ditiadakan atau dinihilkan. Dan, satu-satunya bilangan dalam persepsi identik adalah angka “nol”, netralisir.
Semua pikiran tentang yang ada harus dinihilkan atau dinetralisir sehingga tetap Ada itu yang Ada.
Untuk berbicara musyrik terlebih dahulu harus dinihilkan/dinetralkan dari semua yang ada. Apalagi harus mematuhi adanya simbol-simbol seperti bendera, kalimat, atau apapun. Wallahu a’lam.
Cirebon, 3 April 2022.