Tak lepas dari upaya berkhidmat kepada umat dan bangsa, KH Said Aqil Siroj mengetuai satu badan filantropi yang diberi nama “Islam Nusantara Foundation”.
Lalu, dimanakah letak urgensi dari pendirian lembaga ini?
Mari kita lihat dari aspek-aspek yang selama ini menjadi kampanye besar KH Said Aqil Siroj! Pertama, dasar filosofis beragama. Kedua, lingkaran geopolitik Indonesia. Dan, ketiga, kebangkitan kesejahteraan umat dan bangsa.
Tulisan sederhana ini akan memberikan gambaran sedikit pengertian tentang masa depan dilihat dari tiga aspek tersebut. Sedikitnya lagi, akan memberikan pemahaman; kenapa Islam Nusantara masih menjadi bahan yang urgen untuk kemajuan di masa mendatang.
Tasawuf Falsafi sebagai Dasar Islamisasi
Islam Nusantara berulangkali dinyatakan oleh KH Said Aqil Siroj bukan merupakan sebuah mazhab baru. Hal ini menunjukkan ketawaduan Beliau untuk menahan gejolak-gejolak negatif yang bakal muncul sehingga menjadi isu kontraproduktif. Meskipun jika dilihat dari aspek filsafat, kemunculan sebuah mazhab adalah hal biasa. Bukan haram, karena sesuai tuntutan zaman sebagaimana hadis Rasulullah Saw menyebutkan akan lahir seorang mujtahid baru setelah kurun 100 tahun. Namun, karena bakal menjadi polemik yang tidak berkesudahan, maka isu mujtahid ini memang sebaiknya diabaikan saja.
Kaum Abangan pada dasarnya bukan sebuah entitas yang membangkang terhadap kekuasaan, melainkan masyarakat yang belum sepenuhnya mendapat proses Islamisasi sebagaimana sholat Wetu Telu bagi masyarakat suku Sasak di Nusa Tenggara Barat. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah penyimpangan (heresy) dari Islam. Pun, kaum Abangan di mayoritas masyarakat Jawa yang masih berkompromi pada ritual-ritual adat, terutama filosofi “suwung” sebagai metode kontemplasi “Manunggaling Kawula lan Gusti”. Di dalam banyak literatur tasawuf bukan pula sebagai penyimpangan. Metode-metode seperti makrifat, fana, hulul, dan mahabbah yang berkembang di dunia tasawuf merupakan implementasi pengislaman masyarakat Jawa secara harmoni.
Abangan, Entitas Binaan Parawali
Fahruddin Faiz (2021) menyebutkan di dalam channel YouTubenya, dualitas (dualisme) itu bagi orang Barat adalah konflik; baik-buruk, bagus-jelek, mancung-pesek misalnya. Keduanya kontradiktif. Dari aspek budaya, Samuel P Huntington menciptakan teori “Clash Civilization”, benturan budaya. Berbeda dengan pandangan dari orang Timur, memandang dualitas adalah saling komplementer, saling melengkapi. Maka, berbahagialah orang yang hidungnya mancung karena telah dilengkapi adanya yang pesek. Begitu sebaliknya.
Dua penulis buku-buku bertema Islam Nusantara, Agus Sunyoto dan Ahmad Baso, masih menggunakan terma Barat tersebut, budaya sebagai buah dari konflik. Manakala, pertama, Agus Sunyoto masih memperbandingkan hak kuasa, hegemoni, dalam menulis cerita atau sejarah. Teori hegemoni masih dipakai olehnya ketika menulis “Rahuvana Tattwa” misalnya. Ketika Rahwana menjadi korban hegemoni yang dilakukan oleh Rama.
Kedua, Ahmad Baso, menulis buku-buku tentang Islam Nusantara masih dengan kacamata yang hampir sama seperti Agus Sunyoto, teori Post-Kolonial atau Post-Tradisional. Kekurangpenguasaan Ahmad Baso terhadap konteks susastra masa lalu Nusantara menjadi bias kolonial atau bias tradisional terjadi. Materinya masih hampir sama dengan sejarawan-sejarawan Indonesianis merujuk pada temuan-temuan sejarawan luar negeri. Walhasil, produk-produk masa lalu yang dihadirkan, baik oleh Agus Sunyoto maupun Ahmad Baso, tidak membawa perspektif baru bagi wawasan pembaca kekinian, terutama sejarah. Sehingga asumsi yang timbul kemudian bagi pembaca tetap saja suatu pembenaran yang diciptakan oleh si pembuat teori hegemoni dan teori pascakolonial ke dalam karya-karya keduanya. Dengan kata lain, masa lalu turut hadir dan turut serta di dalam alam pikiran kekinian melalui kacamata yang sama, hegemoni dan kolonialisme.
Begitu pula pada konteks tradisi Abangan yang menjadi berhala zaman kekinian buatan Clifford Geertz, seorang penulis Amerika, tidak juga dapat ditemukan sesuatu yang baru, kecuali tunduk (manut) dan “madep mantep marang Clifford Geertz”.
Teori hegemoni dengan menghadirkan sosok Syekh Siti Jenar oleh Agus Sunyoto adalah pembenaran terhadap tarekat Akmaliyah yang dianutnya. Pandangan ini tentu sangat spekulatif untuk mengatakan Syekh Siti Jenar adalah pengamal tarekat Akmaliyah. Hal ini memang baru dalam pandangan Agus Sunyoto, namun membingungkan bagi pembaca, terutama bagi peneliti-peneliti Islam Nusantara.
Kaum yang dikenal sebagai Abangan tersebut tidak dihadirkan dalam representasi entitas binaan parawali (penyebar Islam). Melainkan, satu entitas binaan Syekh Siti Jenar yang membangkang terhadap kekuasan Sultan Trenggono. Sehingga sifat Abangan tersebut sangat parsial sekali dalam satu entitas minoritas, bukan dalam tahap mayoritas masyarakat yang belum terislamkan secara benar dari sudut pandang fiqhiyah.
Walhasil, kaum Abangan tetap sejati merepresentasikan diri sebagai “wong cilik” dengan kenyamanan “agama” mereka sendiri terisolasi dari kerumunan mayoritas priyayi, apalagi santri. Pengalaman inferior masih saja terjadi. Meskipun pada dasarnya mereka adalah binaan parawali seperti kaum wayangan yang dibina oleh Sunan Kalijaga, kaum bonangan yang dilestarikan oleh Sunan Bonang, kaum petani binaan Sunan Drajat, kaum pedagang oleh Sunan Kudus, maupun wong cilik yang hidup di tajug/pesantren dan fakir miskin menjadi binaan Sunan Gunungjati.
***
Dari sudut pandang harmoni, KH Said Aqil Siroj coba mendamaikan kesenjangan tiga tipologi Clifford Geertz yang sudah kadung diimani oleh banyak kalangan, terutama akademisi. Harmoni bukan dalam skala konflik sebagaimana iman akademisi Barat melalui hegemoni, kolonialisme, dan benturan. Begitu pula, hubungan Islam-fiqh dan Islam-tasawuf yang sering dibaca secara diametral berhadap-hadapan, selanjutnya konflik, mengalami harmonisasi dengan lentur saling mengisi dan saling melengkapi.
Satu pandangan geopolitik ketimuran sebagaimana dipraktikkan oleh Rusia saat ini telah memberi angin segar, terutama kemandirian dari berbagai segi. Islam Nusantara (India, Bangladesh, Myanmar, Malaysia, Thailand, Brunei, Indonesia, hingga Filipina) memiliki keragaman dan harmonisasi yang sama sebagai kawasan geopolitik, baik sejarah, sosial, ekonomi, teknologi, dan seterusnya budaya.
Cirebon, 4 April 2022.