Salat tarawih. Ada berbagai jenis makmum. Ada yang semangat sekali berada di shaf pertama hingga lupa segalanya. Dan, sebaliknya, nampak pula anak-anak kecil yang berlarian di shaf paling belakang, menunggu selesainya salat. Sedangkan penghuni shaf tengah, adalah mereka yang menjadi penentu, penuh tidaknya shaf tarawih di malam-malam Ramadan.
Ramadan, sebagaimana bulan-bulan yang lain, akan dilalui oleh semua jenis makmum di atas. Ada yang serius, tahu bahwa bilangan umur bukan hal yang bisa diulang, hingga mereka beribadah sudah pada tingkat seakan-akan Allah melihatnya. “Ka annaka tamuutu ghadan,” katanya. Penghuni shaf ini seperti parapensyukur nikmat dalam Al Quran, dalam jumlah yang hampir tidak banyak. Tidak heran jika kemudian, Rasulullah mengawali hadis puasa dengan kata, “betapa banyak….” Karena mungkin, yang sedikit adalah mereka yang sungguh-sungguh berpuasa.
Shaf tengah itu dinamis. Dia banyak di awal, mulai lengah di tengah, dan luluh lantak di sepuluh akhir. Ya wajar, penghuni tengah itu “play maker”. Dia kadang ingat, tapi banyak lupanya. Ingat bahwa ini Ramadan bulan penting, tapi kalau mall sudah memanggil, mereka lupa. Atau juga mungkin dilupakan Ramadan. Penghuni shaf ini memandang ibadah sebagai sesuatu yang belum banyak berdampak bagi hidupnya. Maka memakai baju muslim lebih penting bagi mereka, daripada kualitas ibadahnya ketika memakai baju tersebut. Mereka beralasan dipaksa oleh yang namanya “keadaan”. Mereka butuh beli sesuatu di sepuluh akhir untuk terlihat “hidup”. Tidak heran kemudian, sebagaimana di pendidikan, kurva tengah itu berjumlah besar dan berpengaruh.
Shaf belakang adalah anak-anak yang lugu dan polos. Mereka hanya tahu, perang sarung itu mengasyikkan. Menyalakan petasan itu membahagiakan. Yang mereka tahu hanya satu, semua ini boleh dilakukan ketika Ramadan. Lalu, apakah hanya anak-anak? Ternyata tidak, hampir di setiap kampung, ada tipikal orang dewasa yang hadir ketika salat sudah dimulai, dan pulang sebelum salat diakhiri. Kalau memakai bahasa Jawa, “dijupuk enak e tok”. Yang terpenting “terlihat” salat. Jadi, ibadah mereka, murni demi kedamaian mulut tetangga agar tidak “ngerasani” mereka.
Terlepas dari ketiga penghuni shaf tersebut, Gus Baha’ secara gamblang berkata, “Tarawih ini memang sejak awal tidak diwajibkan dan didesain oleh Rasulullah menjadi sebuah kewajiban berjamaah. Jika bukan karena sifat welas asih beliau kepada umat, mungkin tarawih menjadi wajib. Maka kemudian jangan menjustifikasi manusia dengan ketidakpatuhan ketika mereka tidak terlihat “beribadah” ketika Ramadan”.
Ramadan akan dinikmati oleh mereka yang diberi anugerah untuk menikmatinya. Jika ibarat hidangan, Allah sudah menyiapkan sendok dan garpunya bagi hamba-Nya yang terpilih. Sedangkan sisanya, hanya mampu melihat puluhan Ramadan tanpa sedikitpun mampu menikmatinya.
“Allahumma laka shumtu”,
Eh belum buka ya.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga Allah berkenan menerima segala amal ibadah kita di bulan ini.
Sidoarjo, 3 April 2022.