Sering umat Islam mengukur kesalehan dan kualitas beragama seseorang dari aspek pelaksanaan syariat formal (fiqh) saja. Padahal, pada realitanya, berapa persen yang betul-betul telah melaksanakan aturan-atutan fiqh itu di dalam praktik hidup mereka? Justeru, sentimen mereka akan terganggu ketika aspek-aspek keyakinan mereka merasa terusik.
***
Dua orang wali tanah Jawa yang akrab dengan “dunia Abangan” adalah Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. Syekh Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil menurut budayawan Agus Sunyoto adalah pendiri komunitas/koloni Lemah Abang, Lemabang, atau Lemah Brit di berbagai daerah seperti Palembang, Cirebon, Ungaran, Jepara, dan Mantingan. Syekh Siti Jenar adalah tokoh kontroversial dalam legenda orang Jawa karena ajaran agamanya sering dinisbatkan kepada Syekh Al Akbar Ibnu Arabi tentang Manunggaling kawula lan Gusti. Meleburkan diri ke dalam zat Allah. Dikatakan kontroversi, karena telah digambarkan negatif pada masa legenda itu ditulis sehingga bertentangan dengan ajaran “syariat” Wali Sanggha pada umumnya.
Sementara Sunan Kalijaga adalah tokoh yang membumi (ngejawani/kejawen) dengan tradisi Jawa sehingga sering digambarkan dengan mengenakan baju dan blangkon Jawa. Kejawen merupakan etika Jawa yang merupa menjadi “agama” atau aturan lokal di lingkungan masyarakat Jawa.
Nama Sunan Kalijaga tidak kalah populer dengan Syekh Siti Jenar. Namanya muncul di berbagai daerah, mulai dari legenda Cirebon, legenda Demak, legenda Mataram, legenda Tuban, bahkan petilasannya yang terdapat di Gresik. Sunan Kalijaga dalam legendanya hidup di tiga zaman (zaman Cirebon-Demak, zaman Pajang, dan zaman Mataram).
Pendekatan Thariqah
Melihat masyarakat Jawa, tidak bisa memandang secara struktural seperti sering digambarkan oleh parasejarawan Indonesianis dalam kerangka raja dan bawahannya.
Foto: KH Amin Abdul Hamid, mursyid thariqah Al Syadziliyah Al Dimyatiyah, Tegalrejo, Kendal, Ngawi, Jawa Timur.
Di luar masyarakat umum, masih terdapat dua poros kekuasaan, raja dan ruhaniawan, yang masing-masing memiliki wilayah sendiri-sendiri. Lebih gampang disebut sebagai “raja” dan “pandita”. Tapi, sering pula dua poros tersebut manunggal (menjadi satu) seperti yang dikenal dengan sebutan “raja pandita” yang memiliki titah “sabda pandita ratu” sehingga mengandung kekuatan adikodrati (supranatural). Tradisi dan konsep tersebut sebetulnya sudah berlangsung lama di pulau Jawa sebagaimana Raja Airlangga bercitra titisan Dewa Wisnu.
Masuknya Islam ke Nusantara tidak bisa lepas dari sejarah kemunculan gerakan thariqah dan kejatuhan Kota Baghdad pada 1258 Masehi. Namun, sejarawan Indonesianis masih jarang atau sama sekali tidak ada yang menuliskannya. Thariqah hanya dibahas dalam salah satu varian bab saja dari tasawuf dan aktor-aktornya sebagai fenomena. Sebagaimana Syekh Siti Jenar misalnya hanya diceritakan tentang konflik (karena prosa sering mengutamakan konflik) pelaku tasawuf dan ahli syariat (fiqh). Tidak lebih. Sehingga ketika ditanya thariqahnya Syekh Siti Jenar atau Wali Sanggha lainnya, maka akan memunculkan spekulasi-spekulasi.
Tentu, “stressing” yang dikehendaki dari narasi tersebut adalah masyarakat yang hidup penuh dengan kepatutan, terutama undang-undang negara. Maka, narasi hukum yang dimenangkan atau lebih tepat fiqh (karena fiqh bisa bersenyawa dengan undang-undang negara), maka pesan moral yang didapat adalah masyarakat yang patuh terhadap hukum dan undang-undang.
Naskah tertua di Nusantara yang menyebutkan tentang adanya thariqah adalah “Syair Perahu” karya Syekh Hamzah Al Fansuri (wafat 1527) yang menera dirinya adalah pengamal thariqah Al Qadiriyah (bukan Al Qadiriyah wa Al Naqsyabandiyah yang muncul pada abad ke-19).
Di dalam naskah-naskah susastra Jawa, thariqah lebih bersifat substansial berupa prosa dan puisi yang sudah jadi. Artinya, thariqah sudah berupa pandangan hidup (filosofi) yang masuk ke dalam relung-relung budaya dan praktik-praktiknya sehingga sulit dikenali.
Makna Manunggaling kawula lan Gusti
Dalam perspektif sosial-budaya Jawa, memang sudah banyak dikacaukan oleh tumpang tindih sejarah dan tafsirnya apalagi bila berkaitan dengan ruang dan waktu. Contoh, sebagai aktor historis, ada beberapa sebutan nama yang sama untuk makam Sunan Bonang di Cirebon, Lasem, Tuban, dan pulau Bawean. Masing-masing masyarakat daerah tersebut memberi klaim: makam merekalah yang asli, sementara yang lain hanya petilasan. Memang, tidak ada upaya untuk membuktikan secara forensik dan guna menggampangkan, maka disebut petilasan saja.
Namun, yang lebih rumit, penggampangan tersebut juga melintasi ruang dan waktu. Antara satu cerita dengan cerita yang lain tidak terikat dalam ruang dan waktu tertentu. Cerita bisa sama meskipun berbeda-beda tempat atau wilayah, meskipun antara aktor yang satu dengan aktor yang lain juga tidak hidup dalam ruang dan waktu yang sama.
Dengan kata lain, cerita-cerita legenda seperti Syekh Siti Jenar masih belum bisa diangkat sebagai sebuah catatan sejarah karena masih berbau fiksi, alias baru bisa dijadikan sebagai sebuah catatan budaya saja. Pertanyaan gampangnya, dimanakah letak makam Syekh Siti Jenar yang otentik? Jawaban-jawaban spekulatif pun bermunculan. Maka, bisa jadi, cerita legenda tentang Syekh Siti Jenar tersebut hanya rekaan belaka. Kalaupun ada, hanya berupa saduran dari daerah-daerah lain dengan tema dan alur yang sama.
Kembali kepada sejarah, Abangan bukanlah entitas komunal yang dibentuk oleh Syekh Siti Jenar sebagaimana telah digambarkan oleh Agus Sunyoto. Pun, dalam bahasa yang kasar, abangan sering diserupakan dengan kosakata bahasa Arab “abaan” yang berarti “pembangkangan” atau dari situs-situs untuk penamaan beberapa tempat seperti Lemah Abang atau Lemah Brit tersebut. Abangan memang masyarakat Jawa pada umumnya beserta isi jiwa keruhanian mereka. Mereka adalah masyarakat kawula/hamba yang manunggal dan patuh pada ratu/raja dan pandita.
Seperti terapan hukum Islam di Mekah dan Madinah yang turun secara bertahap (tadarruj), Islamisasi di Jawa mengalami proses yang sama. Sentuhan pertama memang bukan syariah formal (fiqh), melainkan melalui sentuhan hati, berkaitan dengan keimanan dan keyakinan. Bahasa Arab yang sulit diterima secara langsung oleh masyarakat awam disederhanakan dengan bahasa-bahasa yang lebih bisa dimengerti. Dan, karena lembaga pendidikan seperti pesantren masih sedikit, maka sentuhan-sentuhan keimanan tersebut mengena melalui budaya. Contoh, kisah wayangan yang bermula dari India dimasukkan unsur-unsur keislaman melalui tokoh-tokoh punakawan, disertai modifikasi-modifikasi tertentu.
Demikian pula, Manunggaling kawula lan Gusti merupakan tahapan zikir di dalam thariqah yang diejawantahkan melalui pemahaman masyarakat yang berkembang saat itu tentang “suwung”. Suwung berarti ketiadaan makhluk karena kelemahannya di hadapan Allah Taala.
Dengan demikian, Abangan tidak dapat disamakan dengan abangan dalam konsep Clifford Geertz yang membagi ke dalam tipologi masyarakat Jawa (priyayi, santri, dan abangan), namun lebih sebagai masyarakat dinamis yang hidup dalam budaya mereka yang harmoni. Hanya saja, proses itu berjalan alami dan bertahap. Masyarakat yang mendapatkan pendidikan di pesantren akan berbeda dengan masyarakat yang tidak. Namun, dari segi kualitas keimanan, hal demikian merupakan hak prerogatif Allah Taala.
Cirebon, 6 April 2022.