Salah satu tujuan diperbolehkannya media massa menyampaikan berita menurut kode etik jurnalistik adalah untuk mendidik masyarakat agar tidak terjebak pada informasi tunggal. Harus berimbang dan objektif. Meskipun masih banyak dijumpai yang melanggar kode etik tersebut demi tuntutan pasar, viral misalnya.
Seseorang yang sudah berani menyampaikan gagasannya ke muka umum berarti ia sudah berani bertanggung jawab atas gagasannya itu. Oleh karena itu, wajar bila masyarakat ingin mengetahui kapabilitas dan kapasitas si penyampai gagasan. Apakah ia seorang ulama? Apakah sebatas ustadz pendakwah biasa? Pakar keilmuan tertentu? Dan, seterusnya.
Sehingga melihat fenomena yang sering muncul di media massa, bahkan media sosial, saat ini benar-benar harus bijak. Bila perlu verifikasi (tabayun) guna mencari informasi yang benar-benar sahih.
Polemik ilmiah sudah biasa terjadi sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman nabi-nabi dan parafilosof. Mereka biasa berdebat, beradu argumen, saling menggoyahkan keyakinan, dan seterusnya. Tapi, mereka dapat mengambil kesimpulan dan buah manis dari persulayaan pendapat di antara mereka, kecuali terhadap berita-berita dan dasar-dasar dalil (postulat) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal keyakinan, perdebatan antara Syekh Abu Ali Muhammad bin Abd Al Wahab Al Jubba’i (235-303 H) yang Muktazilah dan muridnya, Syekh Abu Al Hasan Al Asy’ari (873-936 M) pernah terjadi. Bahkan, perbedaan pendapat di antara keduanya melahirkan satu keyakinan baru, akidah Al Asy’ariyah.
Dari segi sanad ilmiah, wajar, jika KH Said Aqil Siroj pernah mengungkapkan sanad akidah Al Asy’ariyah berasal dari akidah Muktazilah, meskipun ditentang atau belum diterima oleh sebagian ahli ilmu Kalam. Bagaimanapun Imam Washil bin ‘Atha (700-748 M), pendiri aliran rasional Muktazilah, adalah murid Syekh Hasan Al Bashri (641-728 M), seorang tokoh sufi terkenal. Kalangan pesantren masih jarang mengenal baik biografi Imam Washil bin ‘Atha tersebut kendati sanad rasionalitas Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari diperoleh darinya. Bagaimana jika Syekh Ali Al Jubba’i tidak menikahi ibu Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari? Mungkin, ia akan lebih dikenal sebagai ahli hadis daripada ahli Kalam atau justeru ahli fiqh. Karena, kehadiran Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari tidak betul-betul terlahir dari ruang kosong sejarah. Ia bersentuhan dengan banyak orang, baik yang sepaham atau tidak.
Dari sini, dapat dipahami: moderasi pada dasarnya bukan berarti “anti”, melainkan kompromi. Mengkompromikan dua pemikiran berbeda melalui satu premis konklusi.
Dengan demikian, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana bila polemik tersebut terlalu melebar ke arah fantasi?
By data, hal tersebut tidak menjadi masalah. Karena, dari situ dapat dinilai kebenaran dan kesalahan. Tidak ada pendapat yang benar-benar bersih dari kesalahan, maka diperlukan sebuah verifikasi. Seorang santri tidak bisa benar-benar faham dengan logika akidah Al Asy’ariyah tanpa terlebih dahulu mengenal logika-logika dari akidah Muktazilah (serba dinalar) dan akidah Al Qadariyah (serba takdir, semua takdir manusia ditentukan oleh tindakannya sendiri). Serta, logika akidah Al Jabariyah (serba terikat, semua tindakan manusia tidak bisa lepas dari tindakan Allah). Manusia hanyalah wayang yang digerakkan. Uniknya, logika Al Jabariyah banyak dijumpai dari kalangan ahli-ahli tasawuf di Indonesia, utamanya pengamal-pengamal thariqah.
Misal, bagi kalangan thariqah, mengungkapkan sesuatu adalah nafsu, meskipun itu kebenaran. Mengejar karomah bagi pelaku-pelaku amalan dengan jaminan akan keberhasilan pada satu hal tertentu, misal urusan rezeki atau jabatan, tidak akan melebih dari qadla dan qadar Allah Taala wa Subhanah. Wallahu a’lam.
Cirebon, 8 April 2022.