Jejak budaya sejarah Alif (syariat dan tauhid) pada dasarnya memang tidak memiliki tempat sebelum menemukan rumahnya pada Ba’ (thariqah dan hakikat). Padahal persentuhan budaya itu sudah berlangsung di tanah Arab.
Maka, wajar, jika kepenulisan sejarah muslim sering ditunggangi oleh “kepentingan” Wahyu yang bersifat subjektif sehingga yang mengemuka kemudian adalah sejarah tentang syiar dan dakwah.
Al Quran dalam Bingkai Bahasa Manusia
Dalam “Ulum Al Quran”, tema-tema turunnya ayat Al Quran dibagi kepada dua medan, Al Makkiyah dan Al Madaniyah. Biasanya, kedua medan tersebut mewartakan tentang Tauhid untuk ayat-ayat Al Makkiyah sementara hukum-hukum dan terapannya (tathbiq) diwacanakan pada medan Al Madaniyah. Madinah sesuai dengan artinya merupakan fase kenabian dalam menyiapkan pranata sosial, hukum, dan budaya.
Uniknya, dalam proses pewahyuan Al Quran selalu digambarkan: Wahyu turun manakala muncul persoalan-persoalan dari masyarakat. Hal ini memberi gambaran, manakala Kanjeng Nabi Muhammad Saw menerima Wahyu, ia “turning frequenscy” kepada Allah Taala. Namun sayang, dalam proses demikian, Rasulullah Saw digambarkan sedang ditemui oleh sosok Jibril as sebagai penyampai dalam bentuk personifikasi. Perupaan manusia, lonceng, dan seterusnya. Sehingga dalam proses ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw tidak bisa diserupakan dengan umumnya seorang penyair yang tiba-tiba mendapat ilham atau inspirasi.
Modernisasi bahasa Arab, par excellence bahasa Al Quran, mengalami fase-fase “pembakuan” sejak dilakukan pembukuan (kodifikasi) pada masa Sayidina Abu Bakar Al Shiddiq hingga menemukan puncaknya pada mushaf Utsmani. Pada masa Rasulullah Saw sendiri, kemunculan dialek dan ideolek merupakan fenomena tersendiri dalam proses pembakuan ini. Artinya, terdapat tujuh hingga sepuluh bahasa baku yang diakui oleh Rasulullah Saw, yang dikenal kemudian dengan sebutan Qiraah Sab’ah atau Qiraah ‘Asyarah. Mushaf Utsmani dipercaya oleh mayoritas ulama adalah yang paling mampu mengakomodasi bahasa-bahasa dialek dan ideolek tersebut. Meskipun demikian, keterjagaan terhadap keaslian Al Quran masih tetap menjadi prioritas utama. Al Quran adalah bahasa surga atau bahasa langit. Adapun keterpengaruhan budaya hanya pada aspek-aspek penafsiran saja.
Tradisi Khurasan
Pada masa Rasulullah Saw, terdapat dua peradaban maju, Romawi dan Persia. Meskipun jika dilihat dari peta peradaban dunia, juga terdapat China dan India. Di sini, keterpengaruhan aspek-aspek penafsiran atau pemaknaan ayat-ayat Al Quran masih dipandang terbatas.
Pada aspek kebudayaan, peradaban Persia adalah yang paling dekat. Meskipun lagi, aspek dua ibu bahasa pada saat itu, Ibrani dan Suryani, berpengaruh pada kebudayaan Romawi dan Persia. Tarik menarik budaya ini tampak dalam pertikaian ranah politik berikutnya. Ketika Bani Umayyah di Damaskus lebih dekat pada tradisi Ibrani dan Bani Abbasiyah di Baghdad lebih dekat pada tradisi Suryani. “Grand design” dua budaya ini semakin tampak ketika dilihat dari akar pertikaian pada masa Khalifah Umar bin Al Khattab yang ditikam bunuh oleh utusan dari penguasa Khurasan, Yezdegerd III dan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dari Bani Umayyah di Damaskus. Sementara Sayidina Ali bin Abi Thalib justeru lebih memilih Kufah sebagai pusat politik daripada Mekah atau Madinah.
Wilayah keseluruhan Khurasan pada masa Khurasan Raya pada abad ke-3 meliputi negara-negara yang sekarang bernama Afghanistan, Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Pakistan. Di selatan, kawasan Khurasan berbatasan dengan Pegunungan Hindukush; di timur dan utara, berbatasan dengan Pegunungan Thian San dan Laut Kaspia. Masa puncak ini berlangsung setelah dari belakang, Abu Muslim berhasil secara politik menggusur dominasi dan kejayaan Bani Abbasiyah di Baghdad.
Kemunculan Khurasan di atas peta peradaban dunia diawali oleh kedatangan Alexander Agung (356-323 SM) pada abad ke-6 SM. Alexander Agung membangun sebuah pangkalan militer yang diberi nama Merv. Kota Merv kemudian disempurnakan oleh Antiochus I (280-261 SM) dari Dinasti Seleucids (305-64 SM).
Dari masa ke masa, Kekaisaran Persia berkuasa di Khurasan. Kebudayaan dari berbagai suku-bangsa bertemu, baik dari timur, barat, dan utara. Pemerintah Republik Islam Iran mencatat 1.179 lokasi cagar budaya, beserta artefak-artefak dan naskah-naskah kuno. Agama Zoroaster, berkembang di wilayah barat Khurasan sejak masa Bizantium/Bani Sasanid. Pada abad ke-1 M, wilayah timur Khurasan ditaklukan oleh Bani Khusan. Dinasti ini menyebarkan agama dan kebudayaan Budha. Tak heran, jika kemudian di kawasan Afghanistan terdapat banyak kuil-kuil Buddha.
Cirebon, 8 April 2022.