Kulonprogo-Net26.id Untuk menyangga kata budayawan sejatinya cukup berat. Seseorang harus berani ngelakoni, menjalani realitas sebenarnya, beserta baik dan buruknya. Bagaimanakah mungkin budaya harus tetap bertahan dalam kondisi genting di sebuah arena peperangan nuklir sementara esok hari diramalkan akan terjadi kiamat? Haruskah budaya tetap hidup meskipun tanpa seseorang pun lagi?
Sejatinya, generasi belakangan hanya mampu sekadar berkata: diri mereka sebagai “pecinta budaya”, “pelaku budaya”, ataupun yang berkaitan dengan segala hal yang sekali jadi. Tapi, aktor-aktor budaya? Ini yang sering merusak suasana.
“Budayawan di Indonesia ini sudah melenceng dari pengertian yang semestinya,” ungkap Mbah Abdul Halim, sosok sepuh Pena Sanggha, “bahkan sepertinya sengaja digunakan untuk menggiring ke posisi keterbelakangan. Semakin terbelakang semakin tinggi dan berbobot.”
Pena Sanggha adalah satu komunitas hidup yang sedang dibangun oleh Mbah Liem, sapaan akrab Mbah Abdul Halim, di selatan Yogya. Baginya, budaya adalah bukan persoalan label yang kosong tanpa isi. “Begitu narasi yang tersirat. Banyak yang merasa kalau memperdalam tarian kuno dirinya adalah budayawan. Membiasakan diri memakai surjan atau batik bercorak kuno sudah merasa dirinya adalah budayawan. Pokoknya, semua yang berlatar kuno itu adalah budaya walaupun tidak tahu filosofinya. Atau, tahu filosofinya, tapi cuma sekadar kira-kira Asalkan terdengar agak nyerempet, itu sudah hebat, merasa punya sumbangsih dalam perkembangan dan eksistensi kebudayaan. Kalau yang merasa sebagai budayawan kok cuma seperti itu, sama artinya dengan menjerumuskan diri ke dalam kemunduran.”
Apa yang disebutkan oleh Mbah Liem tidak sejalan dengan pikiran dan pola hidup berbudaya. Ia menggambarkan komunitas Pena Sanggha yang digagas olehya tidaklah tunggal. Ia bersama kerabat desa dengan berbagai latar profesi masih menata dan terus menata banyak hal. “Sebab mereka hakikatnya tidak tahu kebudayaan leluhurnya selain model pakaian, permainan dan jogetan. Padahal itu semua cukup dimusiumkan saja, sebagai dokumentasi sejarah, yang biasa saja, tak ada istimewanya,” tukasnya, ketika melihat fenomena budaya menjadi banyak tema dan tren.
Seharusnya budaya hidup selaras antara ide dan kehidupan nyata. Jadi, tak sekadar label dan kata. “Lain halnya kalau budayawan itu meneliti dan mengembangkan teknik bercocok tanam, kalamangsa, rekayasa genetika, cara berkomunikasi dengan alam, sebagaimana kodratnya sebagai kholifah, pengobatan alami yang maju, pengendalian hama dan pencegahan bencana, pencegahan korupsi dan penemuan, serta pengbangan ilmu dan teknik baru,” Demikian tegas Mbah Liem. Menurutnya, orang sekarang masih kalah dengan Nabi Sulaiman as misalnya yang bisa membangun komunikasi dengan makhluk astral dan binatang. Justeru, memasrahkan komunikasi itu menjadi tugas teknologi. “Kan, lucu, lha wong teknologi ciptaan manusia, sementara manusia diatur teknologi,” pungkasnya.