Sebut saja dia sarjana pesantren kanonik. Seorang sahabat yang pernah belajar di pesantren, kuliah di perguruan tinggi ternama, kemudian banyak membaca dan meneliti khazanah dan tradisi. Plus, menguasai banyak bahasa dan istilah kekinian.
Sebagai santri kekinian atau mundur sedikit ke era awal tahun 2000an, ia mulai menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Tahu sendiri, kiai zaman sekarang dan kiai zaman dahulu cukup berbeda. Kalau kiai zaman sekarang membaca Al Quran cukup kualifikasi di bidang tajwid, fashahah, dan makharij al hurufnya. Singkat kata, tahsin Al Qurannya bagus dan fasih! Sementara kiai dulu tidak terlalu formal dalam memverbalkan pelafalan huruf.
Kalau kiai sekarang lebih mementingkan “casing” dan penampilan formal, maka kiai zaman dahulu tidak demikian. Pun, ketika memverbalkan bacaan huruf Al Quran, bahkan bisa dibilang keluar dari pakem, ndeso, kampungan.

Bayangkan saja unsur-unsur lokal Nusantara yang masih melekat di lisan mereka seperti Ka Ga Nga! Kaganga adalah aksara yang konon berasal dari bumi India itu menjadi dasar terbentuknya aksara-aksara yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, bahkan hingga Filipina.
Di Sumatera, khususnya Sumatera Selatan, berpengaruh pada aksara Rejang. Di Jawa berpengaruh pada aksara Ka Wi yang direnovasi oleh Sultan Agung menjadi Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga. Dan, seterusnya. Di Sumatera Selatan, kata “Nga” atau “Po Nga” masih digunakan sehari-hari dalam penyebutan untuk orang kedua tunggal (mukhatab) yang berarti “engkau”.
Walhasil, pelafalan aksara Kaganga tersebut pun masih berpengaruh ketika bahasa Arab mulai masuk ke Nusantara seperti penyebutan “Hamid” menjadi “Kamid”, ‘alam menjadi “ngalam”, dan seterusnya.
Intinya, orang zaman dahulu lebih substansial di dalam memandang bahasa agama, lebih mementingkan aspek hakikat daripada penampilan formal syariat. Dulu, ada banyak mantra yang masih menggunakan bahasa kuno, baik di Nusantara maupun di kitab-kitab Mujarobat. Amalan-amalan wirid thariqah juga ada terselip kata-kata kuno bahasa Suryani. Dan, maaf, Syekhona Kholil Bangkalan pun mantra-mantranya dengan menggunakan bahasa jorok.
Sahabat santri sarjana kanonik tadi begitu sangat khawatir akan semakin berkembangnya tasawuf falsafi pada kancah wacana keagamaan di dunia “permedsosan”. Baginya, tasawuf Falsafi akan sangat berbahaya bila diajarkan kepada kalangan awam. Katakanlah seperti kasus cerita legenda Syekh Siti Jenar!
Sahabat tadi dikatakan sebagai santri sarjana kanonik, karena ia memang fasih melafalkan huruf-huruf Hijaiyah. Fushhah istilahnya. Sudah sangat faseh cengkok-cengkoknya, “letter by letter”. Fluently, kata orang Inggris. “Dah, gitu”, sahabat tadi sarjana yang memang teliti, literatif, referensif, dan serba hukum. Lengkap sudah! Jadi, kalau dibilang kritis, ya sangat kritis untuk orang seukuran dia. Okey?
Baik. Sekarang, apa hubungan aksara-aksara tersebut dengan judul tasawuf falsafi?
Tak dapat dibayangkan, betapa mengkeretnya wajah sahabat tadi jika melihat fenomena dunia yang kian vulgar ini? Anggap saja begitu. Anggap saja dia sedang berpikir keras.
Dia pasti membayangkan, bagaimana dulu Al Hallaj dibunuh bakar? Syekh Siti Jenar dibunuh pancung? Ketika keduanya mengajarkan tasawuf falsafi dan dianggap telah menebar kesesatan kepada orang-orang awam. Kacau dunia persilatan! Orang-orang awam itu pasti belum mengenal syariat. Belum bisa sholat dengan baik, rukuk sujudnya. Belum lancar dan fasih betul lisan mereka melafalkan huruf-huruf Hijaiyah. Tapi, mereka sudah diajarkan hakikat. Bagaimana bila orang awam itu melafalkan “Alkamdulillakhi robbi Al Ngalamin”? Apakah sudah pas bacaan itu? Apakah bisa dihitung pahala? Apakah sah sholatnya? Apakah ia bisa masuk surga? Pertanyaan-pertanyaan itu terus membentur-bentur kepalanya.
Sampai detik-detik santri sarjana kanonik itu bersiteguh, membuang muka.
Ia tak hirau pada pendapat sahabat-sahabatnya kalau orang dulu berislam itu secara hakikat, baru kemudian syariat. “Apa buktinya? Pesantrèn-pesantren kita tidak,” kilahnya.
“Ya, itu pesantren di lingkunganmu. Berbeda dengan pesantren-pesantren lain. Masyarakat umum. Meskipun mereka tidak fasih, tidak lengkap sholatnya seperti dirimu, mereka ikhlas mengaku muslim. Bahkan, dengan angka fantastis 87 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Mereka punya falsafah, etika, tak kalah denganmu. Barangkali, dirimu berpikir, hanya karena mereka tak lurus membaca huruf ‘ain lantas mereka sesat dan bakal masuk neraka?
Sungguh naif!”
Cirebon, 7 April 2022.