Kalau berbicara tasawuf falsafi, pikiran umat Islam Indonesia pasti tertuju kepadanya, Syekh Siti Jenar. Karena, simbol tasawuf falsafi tersebut kepadanya sudah diukir sejak ratusan tahun yang lalu.
Dengan “entah” dari sudut mana ketika pertama mulai ditulis. Dalam cerita-cerita legenda yang dibangun kemudian, Syekh Siti Jenar selalu identik sebagai tokoh antagonis yang melawan otoritas “syariat” Wali Sanggha. Sehingga di akhir cerita digambarkan Syekh Siti Jenar harus menghadapi hukuman pancung di hadapan sultan. Uniknya lagi, hukuman pancung tersebut ada yang mengatakan berlangsung di masjid Ciptarasa dalam versi Cirebon dan di masjid Agung Demak versi Demak. Di kalangan masyarakat awam, tentu asumsi yang berkembang kemudian adalah klaim cerita itu milik mereka. Milik masyarakat Cirebon dan masyarakat Demak.
Dalam literatur sejarah tasawuf, kontradiksi antara “Islam-fiqh” dan “Islam-tasawuf” memiliki panggung tersendiri. Sehingga menurut sejarawan pula, Imam Al Ghazali adalah sosok yang berhasil mendamaikan perseteruan antara Islam-fiqh dan Islam-tasawuf tersebut melalui karya unggulannya, Ihya Ulum Al Din. Itupun tidak dalam pengertian yang sewajarnya, manakala tasawuf kemudian dianggap sebagai kemunduran sejarah umat Islam. Sarjana-sarjana Barat menyebut kemudian sebagai kemunduran filsafat Islam dan Imam Al Ghazali adalah orang yang telah memotong angsa bertelur emas itu.
Tasawuf falsafi adalah pengalaman batin seorang pelaku sufi yang bisa dijelaskan dan diungkapkan secara verbal ke dalam tulisan-tulisan sistematis dan rasional. Lawannya adalah tasawuf amali yang menekankan pada laku spiritual tak terkatakan. Artinya, perilaku-perilaku fiqh tidak disertakan dengan bahasan-bahasan rumit hasil dari suatu laku batin. Misal, sholat ya sholat saja. Tidak usah dipikir gunanya. Puasa ya puasa saja, tidak usah dibahas pengertian puasa awam, puasa orang khos, dan seterusnya.
Tasawuf falsafi muncul sebagai teori ketika berlaku pada sesosok sufi tertentu seperti teori kasyaf Imam Al Ghazali, teori syahadah Imam Abu Al Hasan Ali Al Syadzili, teori cinta Rabiah Al Adawiyah, teori fana Syekh Abu Yazid Al Bisthami, teori hulul Abu Manshur Al Hallaj, atau teori wihdatul wujud Syekh Al Akbar Ibnu Arabi. Pada konteks Jawa, muncul teori Manunggaling kawula lan Gusti Syekh Siti Jenar.
Anggapan kalangan Islam-fiqh, teori-teori tersebut tidak dapat diajarkan secara serampangan bagi kalangan awam. Karena, akan membawa kepada kemadaratan sebagaimana kisah-kisah negatif Al Suhrawardi Al Maqtul (1148-1191 Masehi), Abu Manshur Al Hallaj Al Maqtul (858-922 Masehi), pun Syekh Siti Jenar Al Maqtul (tanpa tahun). Ketiga tokoh tasawuf tersebut diceritakan sebagai korban dari teorinya sendiri sehingga mendapat hukum bunuh (pancung).
Tentu, polemik antara Islam-fiqh dan Islam-tasawuf adalah polemik teoretis, bukan secara praktis. Bagaimanapun, setiap orang memiliki pengalaman-pengalaman spiritual masing-masing, tergantung besar kecilnya. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketika teori tersebut menjadi pembicaraan umum yang akan mengarah kepada fitnah. Abuya Arrazi Hasyim di era kekinian adalah salah satu contoh ketika mengungkapkan teori nama-nama ruh yang diberikan oleh Allah Taala secara khusus kepada setiap individu. Berbagai tanggapan pun muncul dan menjadi pembicaraan umum sehingga menimbulkan fitnah karena dianggap tidak ada dalam literatur-literatur tasawuf. Abuya Arrazi Hasyim dengan keterbatasannya beranggapan: teori penyebutan nama-nama ruh itu memang ada. Terlepas, bisa dibuktikan secara literal atau pengalaman empiris, hal itu perlu verifikasi (tabayyun).
Kembali kepada Syekh Siti Jenar, apakah teori Manunggaling kawula lan Gusti itu hanya miliknya secara teoretis? Secara pengalaman mungkin, iya, tapi secara teoretis pengalaman itu tentu berlaku umum. Setiap orang pernah atau bisa melakoninya. Apa yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar sebenarnya berlaku umum bagi semua parawali, bahkan orang awam. Hanya saja, agar tidak terjadi keliaran di kalangan umum perlu diberi pelanggeran-pelanggeran (batasan-batasan). Dan, batasan-batasan itu terikat dalam aturan-aturan tekstual. Intinya, telah terjadi perbedaan jalan antara skriptualisme dan empirisme. Orang yang monoton pada pengalaman-pengalaman teks (teori) dan orang yang mengalami lakunya di lapangan praktik.
Terakhir, setiap orang secara teoretis mampu membuat bom molotov, tapi kenapa tidak semua orang menggunakan bom molotov, padahal mudah membuatnya? Setiap orang secara teoritis dan empiris mampu melihat/bermimpi berjumpa Rasulullah Saw, tapi kenapa tidak semua orang berjumpa/bermimpi dengannya? Wallahu a’lam.
Cirebon, 5 April 2022.