Konsep Abangan yang Tersamar
Dalam literatur budaya Jawa (wayangan) terdapat dua entitas kuasa, istana dan pesantren. Istana dan karesian. Yang satu melahirkan kalangan kesatria (yang kemudian menjadi entitas priyayi), sementara yang kedua melahirkan kalangan karesian (yang kemudian menjadi entitas kiai). Demikian gampang untuk memahaminya.
Namun demikian, terdapat entitas ketiga yang tersamar. Pada level ini, entitas dimaksud melahirkan kaum punakawan yang berdiri di antara kedua entitas pertama.
Lalu, siapa mereka? Kelompok atau entitas ini memiliki gambaran yang berulang dengan gaya dan sebutan yang berbeda dari waktu ke waktu.
Mereka memiliki karakter progresif, terkadang berada di bawah yang bisa naik ke atas. Wacana “Geger Kahyangan” atau “Petruk Dadi Ratu” adalah representasi entitas ini mampu naik pada spiritual lebih tinggi, bahkan pada level politik dan kekuasaan dalam pengertian realitas. Dalam konteks ini, antara kawula lan gusti, antara struktur bawah dan struktur atas, dalam entitas berbeda digunakan pula idiom “jagad cilik” dan “jagad gedhe”, realitas Manunggaling kawula lan Gusti berlaku.
Transmisi Budaya
Peralihan budaya dari waktu ke waktu tidak berhenti. Entitas ketiga dalam tipologi ini memiliki orientasi nonstruktural. Hal berbeda dengan dua entitas pertama. Entitas ketiga memiliki banyak varian-varian sebanyak varian masyarakat dan komunitasnya. Dalam kondisi tertentu, mereka bisa masuk pada dua barisan yang berbeda di antara entitas pertama dan entitas kedua.
Entitas ketiga ini mengambil peran mayoritas yang bersifat kultural. Mereka mengembangkan keruhanian tersendiri. Tidak memasuki relung-relung spiritualitas yang dibangun oleh entitas pertama dan kedua. Jika entitas pertama (priyayi) tampil dengan karakter formal dan struktural, maka entitas kedua tampil dengan kesalehan-kesalehan spiritual dan terkadang tidak jarang menjadi pembimbing entitas pertama.
Sikap entitas ketiga menjadi sulit ketika harus tampil dalam pakaian berbeda yang mungkin barangkali “bukan pakaian” mereka. Mereka dianggap kalangan yang tak sanggup benar-benar menyangga buana dan busana. Baik busana penuh bintang-bintang kegagahan maupun busana kesalehan dan kesucian.
Pada aspek transmisi ini, budaya lisan lebih condong digemari oleh entitas ketiga, karena memang buta huruf. Di dalam menerima informasi, lebih suka memberitakan hal-hal yang tak sebenarnya seperti gosip dan pandangan negatif mereka terhadap entitas pertama dan entitas kedua.
Sementara entitas pertama dan kedua cenderung lebih memilih pada tradisi tulis dan tertutup. Hampir semua realitas pada diri mereka diberitakan secara tertutup dan samar.
Jakarta, 30 Maret 2022.